Maret 29, 2010

Perth Zoo, sebuah LSM lingkungan, meraih penghargaan nasional Konservasi In-Situ 2010 untuk upaya perlindungan sejumlah satwa yang sangat terancam punah di dunia, khususnya orangutan Sumatra, dan habitatnya di ekosistem Bukit Tigapuluh (TNBT), Jambi.

Chief Executive Perth Zoo Susan Hunt dalam siaran persnya, Minggu (28/3), menyebutkan, pihaknya menerima penghargaan untuk program Perlindungan Satwa Liar dan Ekosistem Bukit Tigapuluh.

Program tersebut dilaksanakan oleh Frankfurt Zoological Society (FZS), sebuah LSM yang bergerak di bidang konservasi satwa liar. Program ini sedang berlangsung, dan bertujuan melindungi salah satu blok hutan hujan dataran rendah di Sumatra yang memiliki representasi lengkap fauna Sumatra, seperti orangutan Sumatra yang masuk dalam kelompok kera besar yang terancam punah di tingkat dunia dan juga harimau sumatra yang sangat terancam punah serta habitat gajah sumatra yang semakin menyempit.

Susan menyatakan, ekosistem Bukit Tigapuluh adalah daerah terakhir yang tersisa yang bersebelahan dengan dataran rendah kering di Sumatra, sehingga sangat sangat penting untuk melakukan segala upaya guna memastikan perlindungan terhadap kawasan ini.

"Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan lembaga non-pemerintah termasuk FZS, dan Australian Orangutan Project," katanya. "Sayangnya ada banyak ancaman terhadap habitat yang unik ini seperti penebangan liar, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit," ujar Susan.

Sementara itu, Counterpart Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi pada FZS Krismanko Padang menyatakan sangat bangga atas apresiasi yang diberikan Pemerintah Australia terhadap Perth Zoo yang merupakan salah satu pihak sponsor yang peduli terhadap pelestarian satwa kunci Sumatra di ekosistem Bukit Tigapuluh.

Hal itu menunjukkan bahwa bangsa luar juga peduli pentingnya upaya menjaga kelestarian alam di Bukit Tigapuluh. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi akan arti penting keanekaragaman hayati sebuah ekosistem. Apresiasi itu menjadi sebuah ironi karena perhatian bangsa luar justru lebih baik dibandingkan Pemerintah Indonesia sendiri. Ini terlihat dari masih adanya upaya pemerintah untuk mengubah kawasan penyangga yang masuk dalam ekosistem menjadi kawasan hutan tanaman industri (HTI).

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementrian Kehutanan telah mengeluarkan surat izin prinsip untuk atas hutan seluas 61.496 hektare kepada PT Lestari Asri Jaya di hutan produksi eks HPH PT IFA dan 52.000 hektare kepada PT Rimbani Hutani Mas (RHM) di hutan produksi eks HPH PT Dalek Hutani Esa.

Padahal di kawasan merupakan habitat satwa kunci Sumatra seperti orangutan, harimau, gajah, dan tapir. Sementara suku terasing Talang Mamak, Suku Anak Dalam, dan Melayu Tua juga tinggal di wilayah ini.



Luas ekosistem Bukit Tigapuluh mencapai 400.000 hektare dan di dalamnya terdapat Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144.223 hektare. Ekosistem ini berada di dua provinsi, yakni Provinsi Jambi di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, serta Riau di Kabupaten Indragiri Hilir.

SEJARAH PENETAPAN TNBT

Sejarah penetapan Bukit Tigapuluh dimulai dengan dikeluarkannya Rencana Konservasi Nasional Indonesia pada tahun 1982. Rencana tersebut mengakui penting dan tingginya nilai ekosistem Bukit Tigapuluh, yang terdiri dari Suaka Margasatwa Bukit Besar (200.000 Ha.) dan Cagar Alam Seberida (120.000 Ha.). Pada tahun 1988 dikeluarkan Instrumen Perencanaan Report yang isinya mengkategorikan Ekosistem Bukit Tigapuluh sebagai perbukitan dan pegunungan yang hanya sesuai sebagai kawasan hutan lindung dengan luas 350.000 Ha.
Kemudian pada tahun 1990 dikeluarkan Peta Unit Lahan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian, yang menyebutkan bahwa Ekosistem Bukit Tigapuluh yang terdiri dari grup pegunungan dan perbukitan di mana hutan yang terdapat di grup perbukitan seharusnya tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.

Pada periode antara tahun 1991 sampai dengan 1992 dilakukan penelitian bersama antara Indonesia dengan Norwegia dengan tujuan untuk memperlihatkan arti penting dan fungsi keberadaan ekosistem Bukit Tigapuluh. Hasil penelitian ini merekomendasikan kawasan tersebut agar ditetapkan sebagai taman nasional dengan luas 250.000 ha.

Pada tahun 1993 Dirjen Perlindungan hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) bersama WWF Indonesia mengusulkan program pengelolaan kawasan Bukit Tigapuluh kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia.

Pada tahun 1994 Pemerintah Daerah Tingkat I Riau mengeluarkan Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang di dalamnya mencakup Kawasan Konservasi Bukit Tigapuluh. Pada tahun yang sama, Dirjen PHPA melalui surat Nomor 103/DJ-VI/Binprog/94 mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menunjuk Kawasan Bukit Tigapuluh dan Bukit Besar sebagai Taman Nasional.

Selanjutnya pada tahun 1995 Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 539/Kpts-II/1995 menunjuk kawasan Bukit Tigapuluh sebagai taman nasional dengan luas 127.698 Ha. Luas tersebut merupakan gabungan dari 57.488 Hutan Produksi terbatas yang ada di Provinsi Riau, serta 33.000 Hutan Lindung di wilayah Provinsi Jambi. Luas tersebut lebih kecil dari yang diusulkan semula karena adanya konflik kepentingan dari pemegang HPH yang ada pada saat itu.

Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor: 17/Kpta/12J-V/2001, maka ditunjuklah zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Dan akhirnya, pada tanggal 21 Juni 2002, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 6407/Kpts-II/2002 Tentang Penetapan Kelompok Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144.223 Ha yang terletak di 4 kabupaten pada 2 propinsi yaitu Riau dan Jambi sebagai Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

KEADAAN FISIK KAWASAN

Secara geografis kawasan TN. Bukit Tigapuluh terletak pada koordinat antara 0° 40" - 1° 25" Lintas Selatan dan 102° 10" - 102° 50" Bujur Timur dengan luas 144.223 Ha. Secara administrasi pemerintahan kawasan tersebut terletak pada 2 wilayah provinsi, yakni wilayah Propinsi Jambi dan Propinsi Riau. Di wilayah Propinsi Jambi terletak di Kabupaten Tebo ( seluas 23.000 ha) dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (seluas 10.000 ha). Sedangkan di wilayah Propinsi Riau terletak di Kabupaten Indragiri Hulu (seluas 81.223 ha) dan kabupaten Indragiri Hilir (seluas 30.000 ha).


Kawasan TN. Bukit Tigapuluh merupakan daerah perbukitan yang cukup curam dengan ketinggian antara 60 m sampai 843 m dpl, dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit Supin. Daerah perbukitan tersebut terpisah dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari selatan ke utara di Pulau Sumatera.

Jenis tanah yang terdapat di kawasan tersebut adalah Podsolik Merah Kuning dengan kedalaman bervariasi antara 40 cm - 150 cm.



Kawasan TN. Bukit Tigapuluh merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Gansal di Propinsi Riau dan Sungai Batang Hari di Propinsi Jambi, serta terdapat beberapa Sub DAS seperti Sungai Cinaku, Keritang, Pengabuhan dan Sumai.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TN. Bukit Tigapuluh termasuk iklim tipe B. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.577 mm/tahun, tertinggi pada bulan Oktober (347 mm) dan terendah pada bulan Juli (83 mm). TN. Bukit Tigapuluh memiliki udara yang sejuk dengan suhu bulanan maksimum 33° C pada bulan Agustus dan suhu minimum 20,8°C pada bulan Januari.

FUNGSI TNBT

Fungsi TNBT yang sangat penting antara lain :
  • Merupakan perwakilan contoh ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah yang sudah menjadi langka.
  • Merupakan habitat flora dan fauna yang langka yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati tinggi.
  • Merupakan daerah tangkapan air (catchment area) pada hulu sungai-sungai besar ke daerah sekitar, seperti Sungai Batang Hari, S. Batang Sumai, S. Batang Gangsal, dan lain-lain.
  • Merupakan perwakilan dari keunikan geologi yang terdapat di bagian timur P. Sumatera.
  • Merupakan tempat hidup dan sumber penghidupan masyarakat tradisional Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Melayu Tua, yang secara turun-temurun bermukim di kawasan tersebut.
  • Merupakan bagian dari "paru-paru dunia" yang memproduksi oksigen bagi kehidupan manusia.
  • Merupakan salah satu objek wisata alam potensial di masa mendatang.
  • Merupakan sumber hasil hutan non kayu, seperti : getah, buah, madu, jernang, rotan, obat-obatan dan lain-lain.
  • Merupakan laboratorium alam untuk pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan budidaya.
Sumber : Media Indonesia
Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Kredit Foto : matanews.com
tebuireng.net

Maret 23, 2010

Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Itu isu ”terpanas” dalam perkara perubahan iklim. Sementara di berbagai belahan dunia terjadi bencana terkait iklim: cuaca serba tak menentu dan cenderung ekstrem, badai salju, dan badai pasir tak terperikan terjadi di daerah yang tak terduga, di dalam tubuh Panel Ahli Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim terjadi ”badai kepercayaan”. Secara keseluruhan, bahkan urusan perubahan iklim ini, mengandung berbagai ironi.


Kepercayaan pada Panel Ahli Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) terguncang keras. Guncangan awal terjadi menjelang Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) di Kopenhagen, Denmark, awal Desember lalu, berupa bocornya e-mail dari Unit Riset Iklim dari Universitas East Anglia, Norwich, Inggris, yang prestisius.

E-mail itu mengisyaratkan betapa IPCC berusaha menghindari upaya pihak lain untuk turut melihat data-data yang dikoleksi dari seluruh dunia. Maka, muncullah kecurigaan bahwa model iklim yang digunakan oleh IPCC selama ini cenderung berlebihan. Dan, hasil polling publik kemudian menunjukkan turunnya kepercayaan publik akan keniscayaan terjadinya proses pemanasan global.

Peristiwa itu bak ranjau yang ditanam di kebun orang. Dan ”ranjau” itu meledak tak tertahan ketika diketahui terjadi kesalahan dalam laporan IPCC pada tahun 2007: Assessment Report 4. Di sana disebutkan, lapisan es di Puncak Himalaya akan habis meleleh pada tahun 2035. Para ahli terguncang dan debat pun berlangsung berkepanjangan.

Namun, eloknya, dengan mudahnya kesalahan tersebut lantas dinyatakan sebagai ”salah cetak” (typographical error). Angka tahun yang benar adalah 2305 tetapi tercetak 2035. Itulah ironi pertama. Ironis, ketika kesalahan ketik terjadi—jika memang benar demikian—pada sebuah laporan yang akan memengaruhi lebih dari 6 miliar penduduk dunia, memengaruhi sistem politik global karena Kerangka Kerja PBB atas Konvensi mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) beranggotakan lebih dari 190 negara!

Meminta maaf

Ketua IPCC Rajendra Pachauri pada akhir Februari lalu berusaha ”meredam” rasa tidak percaya di kalangan negara-negara anggota UNFCCC tersebut dengan hadir pada pertemuan para menteri lingkungan pada Forum 11th Special Session of the United Nations Environment Programme (UNEP) Governing Council/Global Ministerial Environment. Di sana ia berusaha meminta maaf. Hadirin pun diminta ”tutup mulut” tentang isi pertemuan tersebut. Dan, rupanya Pachauri dimaafkan... oleh PBB.

Pekan lalu, Sekjen PBB Ban Ki-moon telah mengumumkan badan baru yang bakal bertugas memeriksa cara dan prosedur IPCC dalam menyusun laporan (AR). Badan tersebut dinamai Dewan Antarakademi (Interacademy Council/IAC).

Pachauri dalam wawancara dengan jaringan televisi NDTV, India, dengan tegas menyatakan, ”Kami memiliki ribuan ilmuwan yang bekerja menyusun laporan tersebut. Mereka adalah para profesional di bidang perubahan iklim. Yang dilakukan IAC adalah mengawasi prosedur, dan bagaimana kami menjalankan prosedur itu untuk menyusun laporan. Mereka tidak campur tangan dalam soal keilmuan. Itu kompetensi IPCC.” Laporan berikutnya akan terbit sekitar tiga tahun lagi.

Ironis, ketika orang memperkarakan kompetensi IPCC dalam membuat kesimpulan dalam laporan, yang muncul justru badan pengawas untuk urusan ”salah cetak”—untuk meringkas segala jenis dan level prosedur. Ini sejalan dengan keputusan hakim yang sering menjatuhkan keputusan bebas terdakwa koruptor karena ternyata sang terdakwa hanya melakukan ”kesalahan administrasi”.

Foto : A F P/ S T R
Kapal penangkap ikan China terdampar di salah satu bagian Sungai Yangtze yang mengering di Wanxian, China bagian barat daya. Menurunnya permukaan air Sungai Yangzhe selain rusaknya lingkungan juga diyakini, antara lain, akibat perubahan iklim, berupa cuaca panas. Sekitar 400 juta orang hidup di sepanjang Sungai Yangzhe.


Padahal, yang riil adalah kesangsian terhadap cara kerja IPCC. Cara kerja yang kemungkinan berdampak pada interpretasi keilmuannya. Pendapat tersebut terpicu isi surat elektronik yang bocor—yang mengisyaratkan adanya sikap IPCC yang berusaha menutup-nutupi data dan proses kerja mereka. Kesangsian kelompok yang skeptis ini rupanya telah disimpan di bawah karpet. Padahal, laporan itu juga salah menyebutkan, 55 persen wilayah Belanda ada di bawah permukaan laut. Yang benar, 26 persen. Hal lain dalam laporan tersebut yang dinilai salah yaitu klaim IPCC bahwa perubahan curah hujan yang kecil pun akan memengaruhi hingga 40 persen hutan tropis Amazon dan hutan itu akan berubah menjadi padang rumput.

Ketika yang diketahui masyarakat awam adalah bencana banjir yang semakin sering, gelombang laut yang makin tinggi dan makin sering, dan badai yang semakin kerap, meja-meja perundingan di tingkat global telah menetapkan perubahan iklim masuk dalam ranah politik, ketika dia menjadi urusan PBB.

Seorang ilmuwan klimatologi Indonesia yang kini menarik diri sejak awal telah mengatakan, urusan perubahan iklim ini tidak merata secara global. Perkara ini menjadi arena lain dari dominasi negara maju. Perbandingan ilmuwan yang terlibat dalam IPCC antara negara maju dan berkembang amat tidak seimbang. Alasannya, jumlah paper dari negara berkembang di level internasional kurang memadai jumlahnya. Menurut ilmuwan tersebut, dengan demikian akan ada asumsi-asumsi dan faktor-faktor yang sesuai dengan kondisi negara-negara berkembang yang terlewat. Namun keberatan ini seakan tidak penting.

Kini, terbukanya berbagai kesalahan dalam laporan AR4 dikhawatirkan bakal mengguncang kepercayaan banyak kalangan terhadap kesahihan ilmu pengetahuan. Akibat lainnya, secara politis kegalauan keilmuan itu dikhawatirkan melemahkan komitmen negara-negara secara global dalam menghadapi ancaman dampak perubahan iklim. (Ada sejumlah kalangan ilmuwan yang skeptik, yang menyatakan, penyebab perubahan iklim yang dipicu pemanasan global tidaklah antropogenik, tidak berbanding lurus dengan konsentrasi CO. Penyebab pemanasan global adalah medan magnet matahari).

Sekjen PBB Ban Ki Moon memberikan ”kemudahan” di tengah kegalauan keilmuan tersebut. ”Kesalahan dalam laporan itu amat kecil jumlahnya”—tebal AR4 sekitar 3.000 halaman. ”Saya tidak melihat ada bukti kredibel yang menentang kesimpulan utama laporan tersebut. (Bahwa) Ancaman dampak perubahan iklim adalah nyata,” ujarnya.

Sumber : Kompas

Maret 20, 2010

Disunting oleh : Theodorus Bayu Pratama (BNP)


Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra. Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu? Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang. Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik. Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru. Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya. Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Soe Hok Gie dan Semeru
Lalu apa hubungan antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru? Dan apa yang berkaitan antara keduanya? Soe Hok Gie dan Mahameru adalah dua legenda Indonesia, sedangkan hubungan antara keduanya? Soe Hok Gie wafat di Mahameru saat melakukan pendakian pada 18 Desember 1969 karena menghirup asap beracun gunung tersebut Pada 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676 mdpl.

Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Sebelum berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia menuliskan catatannya : “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”

Sebelum dia mendaki gunung semeru ia mengirim sebuah paket yang berisi pemulas bibir, cermin, jarum dan benang, disertai surat terlampir diatas yang berisi kumpulan tanda tangan dikirim oleh Soe Hok-gie dan kawan-kawannya untuk para mahasiswa yang pada saat itu duduk di kursi DPR-GR sebagai perwakilan mahasiswa.Rupanya itulah akitvitas terakhir Hok-gie dalam mengkiritsi keadaan politik yang berkembang di Indonesia.

Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :

Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas. Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali. Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.

Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil. “Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.

Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.


Catatan Gie
Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Makam soe Hok Gie 24 Desember 1969
Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaikulah kiranya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Itulah biografi singkat dari seorang pemuda Indonesia yang berjuang melawan tirani dan kemunafikkan. Pemuda semacam Gie lah yang dibutuhkan Indonesia sekarang.

sumber : Resensi Buku Catatan Seorang Demonstran
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie

foto : demson.files.wordpress.com/2009/11/gie3.jpg
www.geomechanics.com/pictures/cases/cases/Semeru- east%20Java,%202004,800x600.JPG
http://profile.ak.fbcdn.net/object3/1820/91/n89993200092_3604.jpg
http://www.amartapura.com/uploadimg/f_c/catatanseorangdemonstran_506.jpg

Maret 09, 2010


NAWA TUNGGAL

Hakikat suatu ekosistem adalah keberagaman yang menciptakan keanekaragaman hayati dalam suatu keseimbangan. Itu telah terbukti sejak lama. Dan, kini sebuah penelitian ilmiah lebih jauh lagi, menetapkan indeks nilai penting tumbuhan dalam suatu ekosistem yang sangat berguna untuk menjaga kelestariannya.

Soejono, seorang periset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (25/2) lalu, menunjukkan hasil riset dari 11 ekosistem sumber air dataran rendah. Lokasinya tak jauh dari Kebun Raya Purwodadi, di ketinggian tidak lebih dari 300 meter di atas permukaan laut (dpl).

Soejono mengidentifikasi 72 jenis tumbuhan dari ekosistem sumber air dan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi diraih Ficus racemosa. Ini masih tergolong jenis pohon beringin yang disebut dengan istilah lokal sebagai tanaman elo atau loh.

”Ficus racemosa memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi sampai 29,456 persen,” katanya.

Keistimewaan hasil riset Soejono, dia menemukan kelas beringin dominan pada ekosistem yang masih tergolong asli, atau relatif sedikit terpengaruh intervensi penanaman oleh manusia.

Urutan lima besar INP tumbuhan berturut-turut Ceiba pentandra (L) Gaertn (randu hijau/23,695 persen), Artocarpus elasticus Reinw ex Blume (bendo/18,105 persen), Swietenia macrophylla King (mahoni/16,884 persen), dan Ficus virens W Aiton (beringin iprik/16,870 persen).

”Jenis randu hijau dan mahoni diduga bukan jenis tumbuhan asli. Ini kemungkinan hasil penanaman oleh manusia,” kata Soejono.

Dari 72 jenis tumbuhan, Soejono memastikan ada 11 jenis beringin yang dipastikan sebagai tanaman asli atau penanamannya tanpa intervensi manusia. Jenis beringin lainnya itu meliputi Ficus septica Burm f, Ficus benjamina L, Ficus variegata Blume, Ficus drupacea Thunb, Ficus hispida, Ficus callosa Willd, Ficus sp, Ficus calophylla Bl, dan Ficus ampelas Burm f.

”Dari situlah terlihat, berbagai jenis tanaman beringin sebagai tanaman asli yang selama ini mampu mengonservasi sumber-sumber air dataran rendah, khususnya di wilayah Pasuruan, Jawa Timur,” kata Soejono.

Ficus benjamina adalah salah satu jenis beringin yang paling populer hingga saat ini. Jenis pohon ini banyak ditanam di alun-alun sebagai tanaman peneduh.

Menurut Soejono, dari identifikasi ficus ditemukan, di seluruh dunia terdapat 735 jenis dan di Pulau Jawa sekitar 72 jenis.

Konservasi

Ekologi tumbuhan asli dan keanekaragaman hayatinya kini tengah diuji dengan program penanaman satu miliar pohon selama tahun 2010. Program konservasi dengan keanekaragaman hayati tak tersentuh karena yang diutamakan untuk ditanam adalah jenis trembesi atau ki hujan, seperti dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

”Trembesi memang terkenal bagus untuk penghijauan. Tetapi, kalau dilakukan secara massal dan menyeluruh, itu akan berdampak bagi ekosistem yang hanya bisa diketahui pada periode lima puluhan tahun ke depan,” kata Soejono.

Dia tidak menampik upaya penghijauan dengan trembesi. Tetapi, Soejono punya konsep lain dengan dasar riset ekologi tumbuhan asli.

Intinya, penghijauan semestinya meniru sifat alam. Penghijauan semestinya meniru hakikat keanekaragaman. Untuk menentukan jenis pohon yang akan ditanam, tinggal menyesuaikan jenis-jenis pohon yang sudah ada atau pernah tumbuh di lokasi setempat.

Pencanangan penanaman satu miliar pohon dengan mengutamakan trembesi (Albizia saman, yang dulunya dikenal dengan nama latin Samanea saman) oleh Presiden Yudhoyono bisa jadi karena keinginan untuk mengundang simpati dunia internasional terhadap Indonesia yang ingin meraih target penurunan emisi 26 persen pada 2020—dari emisi yang terjadi jika tidak ada upaya apa pun.

Pilihan trembesi itu didasarkan pada hasil penelitian Endes N Dahlan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurut Endes, trembesi memiliki daya rosot atau daya serap terhadap karbon dioksida yang tertinggi, yaitu 28,5 ton per tahun.

Kepala UPT Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi Pasuruan Solikin mengatakan, nilai paling penting suatu upaya konservasi adalah menjaga keberlanjutan sebuah ekosistem. Mengenali ragam jenis dan manfaat tumbuhan asli seharusnya justru menjadi yang terpenting.

Di Indonesia terdapat 30.000 jenis tumbuhan, tetapi hanya 5-7 persen yang sudah diteliti dan diketahui potensi kegunaannya. ”Pohon buah-buahan lokal yang saya teliti saja baru 42 jenis. Padahal, keanekaragaman buah lokal yang dapat dimakan di Indonesia ada sekitar 400 jenis,” ujarnya.

Baik Soejono maupun Solikin berharap, momentum penanaman satu miliar pohon hendaknya melibatkan penanaman tumbuhan asli demi keanekaragaman. Apa yang dia lakukan saat ini adalah ibarat menilik manfaat tumbuhan asli sebelum menjelang kepunahannya.

Belum ada kebijakan pemerintah yang secara serius mengembangkan jenis-jenis tanaman asli.

Penyebaran bibit

Solikin mengatakan, dalam keterbatasan menjalankan fungsi conserve, study, and use (melestarikan, studi, dan pemanfaatan), Kebun Raya Purwodadi hingga kini masih memprioritaskan penyebaran bibit tumbuhan asli langsung kepada masyarakat.

Berbagai jenis tumbuhan terutama untuk jenis-jenis langka, meskipun masih dalam jumlah yang tidak terlampau masif telah dibagi-bagikan kepada masyarakat luas.

Berbagai jenis beringin disebar dengan tujuan mengonservasi ekosistem. Seperti pada 13 Januari 2010 telah diserahkan 200 bibit Ficus benjamina dan 200 bibit Ficus racemosa kepada Paguyuban Grojokan Sewu, Pecalukan, Prigen, Jawa Timur.

Berbagai jenis tanaman buah lokal juga turut disebarkan. Pada 13 Januari 2010, Kebun Raya Purwodadi juga membagikan kepada pengelola lingkungan SMA Negeri 1 Grati, Pasuruan, antara lain Syzygium cumini (juwet, 5 pohon), Protium javanicum (trenggulum, 2 pohon), Antidesma bunius (wuni, 10 pohon), Diospryrus blancoi (bisbul atau buah mentega, 5 pohon), Baccaurea dulcis (kemundung, 2 pohon), dan sebagainya. Deretan nama buah lokal yang sudah asing bagi telinga kita.

Lenka, turis asal Ceko berusia sekitar 40 tahun, menangis sesenggukan pada akhir 2009 lalu di hutan lindung Bukit Daun, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Ia tidak mau berpisah dari bunga Rafflesia arnoldii, satu jenis puspa langka endemik Sumatera yang tumbuh di Bengkulu.

Sebelumnya, setelah kegirangan karena berhasil melihat langsung raflesia, dengan penuh keyakinan Lenka mendekatkan kepalanya ke lubang bunga yang tengah mekar. Hidungnya menempel ke pinggir lubang, dan Lenka pun menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari dalam lubang bunga berdiameter 20 sentimeter di bagian tengah lima kelopak bunga langka yang saat mekar berdiameter 80 sentimeter itu.

Tidak terjadi apa-apa. Lenka tidak pingsan, apalagi keracunan. Kekaguman yang sama segera menular kepada turis mancanegara lain yang saat itu ikut melihat.

"Tindakan Lenka sekaligus mematahkan pemahaman tentang bunga raflesia selama ini," tutur Burmansyah (37), anggota Tim Peduli Puspa Langka (TPPL) Bengkulu, saat menemani tim ekspedisi Jelajah Musi 2010 melihat bunga raflesia jenis arnoldii yang segera mekar di hutan lindung Bukit Daun, Kepahiang, Selasa (16/2/10).

Selama ini, ujar Burmansyah, masyarakat cenderung memahami bunga raflesia sebagai bunga bangkai. Pemahaman tersebut harus diluruskan.

Semangat Lenka yang melihat raflesia mekar itu segera menular kepada kami saat memasuki hutan lindung Bukit Daun. Pacet, binatang pengisap darah yang kerap menempel di kaki atau tangan, tidak menghalangi perjalanan ke lokasi bunga langka nan indah itu.

Lokasinya di lereng dengan kemiringan sekitar 60 derajat, persis di atas salah satu mata air yang mengalirkan air ke Sungai Ketapang. Sungai ini bermuara di Sungai Musi di daerah Kepahiang.

Hutan yang merupakan habitat tumbuhnya raflesia yang ditemukan TPPL terletak lima kilometer dari pusat Desa Tebat Monok, Kepahiang. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki 250 meter ke salah satu tempat bunga ditemukan di dalam hutan itu.

Baru berjalan sejauh 150 meter ke dalam hutan, Burmansyah tiba-tiba berhenti. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah batang pohon yang menggelantung. "Itulah batang tanaman raflesia atau disebut juga liana," ujarnya.

Anggota Tim Peduli Puspa Langka (TPPL) Kepahiang, Bengkulu, Selasa (16/2/10), menunjukkan kuncup Rafflesia arnoldii yang siap mekar di titik tumbuhnya di hutan lindung Bukit Daun, Kepahiang, Bengkulu. Sejak tahun 2000, TPPL menjaga dan memelihara 21 titik tumbuh bunga langka berdiameter hingga 1 meter di hutan lindung tersebut karena habitat bunga raksasa itu semakin rusak.

Mengikuti petunjuk Burmansyah, jika dalam perjalanan di hutan sudah ditemui liana, kita akan segera bertemu si eksotis Rafflesia arnoldii. Setelah berjalan di aliran mata air jernih, perjalanan berakhir di bagian hutan dengan kemiringan hampir 60 derajat. Tepat di bagian akar pohon, segumpal bunga warna oranye kemerahan tampak. "Ini bunga raflesia yang hampir mekar. Kami perkirakan akan mekar lima hari lagi," ujar Holidin (42), anggota TPPL lainnya.

Raflesia tumbuh di batang menjalar yang menempel di tanah sebagai tempat tumbuhnya bunga. Di sepanjang batang yang menempel di tanah yang basah, tampak enam tonjolan kecil alias tunas-tunas kecil mirip kutil berwarna hitam kecoklatan, bakal raflesia. Di rebahan batang paling bawah terlihat bunga raflesia berdiameter 40 sentimeter yang hampir mekar, di bagian atas terlihat tonjolan-tonjolan calon bunga.

Menurut Holidin, bunga raflesia butuh waktu sembilan bulan untuk tumbuh dan mekar. Pertumbuhan diawali dengan munculnya tunas berbentuk tonjolan mirip kutil di batang. Tunas akan terus tumbuh membesar dalam bentuk bulat seperti kol, namun terselubungi kulit berwarna hitam. Setelah sembilan bulan, kulit akan terkelupas sehingga kelopak bunga yang berwarna merah akan terlihat. Menurut Holidin, bunga itu tidak mengisap serangga atau lalat. Bunga raflesia jenis arnoldii yang kami lihat akan mekar juga tidak menyebabkan keracunan.

Perbedaan makin jelas saat kami mampir ke lokasi pembudidayaan bunga bangkai dari jenis Amorphophallus titanium di Kampung 4 Mess, Desa Tebat Monok, Kepahiang, di belakang rumah adik Holidin, Zul Zum Dihamzah (40).

Di lokasi itu, tampak Amorphopallus titanium, salah satu jenis bunga bangkai, tumbuh. Amorphophallus adalah bunga bangkai yang tumbuh dari umbi.

Jumadi (22), anggota TPPL lainnya, mengatakan, Amorphophallus tumbuh tinggi hingga semeter lebih dan besar seperti lonceng terbalik. Bunga itu juga memiliki bonggol berbentuk seperti tugu di tengah- tengah kelopak bunga.

Setiap kali berbunga, Amorphophallus butuh waktu 22 hari mulai kuncup hingga mekar. Amorphophallus hanya tahan mekar satu hari. Pagi mekar dan sore hari layu. Amorphophallus juga menyiarkan bau busuk, namun lebih seperti bau bangkai yang bisa tercium dari jarak 100 meter.

Referensi lain dari Pusat Informasi Kompas (PIK) menyebutkan, Amorphophallus titanium adalah bunga bangkai yang pertama kali ditemukan tahun 1878 di Kepahiang, Bengkulu, oleh Odoardo Beccari, botanis Italia.

Sementara Rafflesia arnoldii ditemukan oleh Thomas Stanford Raffles, Gubernur Bengkulu pada waktu itu, bersama kawannya, Dr Joseph Arnold. Keduanya menemukan bunga raflesia pada 20 Mei 1818 di Pulau Lebar, dekat Sungai Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan.

Terkait dengan penyebarluasan pengetahuan tentang raflesia, TPPL yang terdiri atas empat orang kakak-beradik itu melakukan pengamatan dan pelestarian raflesia sejak tahun 2000. Secara otodidak, mereka mempelajari tempat tumbuh bunga, pertumbuhan bunga, dan liana atau batang raflesia itu sendiri.

Selama 10 tahun terus-menerus mengamati, mereka yakin raflesia adalah bunga yang tumbuh di batang berakar, bukan bunga parasit yang berkembang dari spora. Bunga raflesia muncul dari liana yang rebah di tanah dan dari liana muncul tunas bunga raflesia.

Jumadi mengatakan, raflesia juga hanya tumbuh di satu jenis liana, yaitu liana dengan daging batang berwarna putih dan berdaun dengan lebar tidak lebih dari tujuh sentimeter. "Ada macam-macam liana, namun hanya pada liana jenis itu raflesia tumbuh," ujar Jumadi.

TPPL memahami liana sebagai tanaman merambat yang tumbuh di dalam hutan hujan tropis lembab, bercurah hujan tinggi, gelap di bagian bawah kanopinya, dan hijau sepanjang tahun. Untuk bisa hidup, liana harus tumbuh dekat dengan air atau di tanah yang mengandung air.

Untuk membuktikan hipotesis dari pengamatan selama ini, sejak tahun 2009 TPPL mulai membudidayakan liana. Mereka menyetek batang liana. Raflesia adalah bunga yang tumbuh dengan akar, bukan tanaman parasit.

Pemahaman TPPL itu sangat berbeda dengan pemahaman para ahli yang ditemukan di PIK serta kajian di dalam buku The Ecology of Sumatra, The Ecology of Indonesia Series Volume I.

Anggota TPPL berusaha agar raflesia tidak diganggu tangan-tangan jahil. Padahal, sejak 1978 raflesia sudah dinyatakan nyaris punah dan harus dilindungi. Pemerintah melalui Keppres Nomor 4 Tahun 1993 sudah menetapkan raflesia sebagai puspa langka nasional. TPPL akan berupaya menjaga terus habitat bunga langka itu.


Sumber :
Kompas
(Helena F Nababan dan Agus Mulyadi)

Kredit Foto :
Kompas
storiesfromtheroad
greenpacks

Maret 08, 2010

Mimpi mereka hanya satu, melihat bunga Rafflesia arnoldii tumbuh aman dan terjaga. Empat laki-laki bersaudara kandung itu tidak ingin anak cucu mereka atau dunia luar kelak hanya mengenal bunga eksotis itu dari foto atau gambar saja. Mereka ingin masyarakat tetap dapat datang ke habitat bunga raksasa itu di hutan-hutan Provinsi Bengkulu dan menikmati keelokannya.

Niat tulus itulah yang mendorong empat bersaudara kandung: Holidin (42), Zul Zum Dihamzah (40), Burmansyah (37), dan Jumadi (28) membentuk kelompok pelestari bunga langka Rafflesia arnoldii pada 2006. Kelompok itu mereka namakan Tim Peduli Puspa Langka (TPPL) Rafflesia arnoldii.

Sebelum membentuk TPPL, empat bersaudara dari tujuh bersaudara asal Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, itu sudah mengenal cukup lama bunga raflesia. Mereka pertama kali berjumpa dan melihat keindahan Rafflesia arnoldii pada 1985.

”Saat itu Jumadi masih empat tahun dan saya duduk di sekolah dasar,” ujar Burmansyah.

Burmansyah mengungkapkan, betapa mereka waktu itu sangat tertarik akan keberadaan bunga raksasa tersebut. Alhasil, mereka menjadi sering keluar masuk hutan, sekadar untuk mengetahui bentuk yang sesungguhnya dari tunas menjadi besar siap mekar. Kebetulan, desa tempat mereka tinggal terletak berdampingan dengan hutan lindung Rindu Hati dan Bukit Daun yang merupakan salah satu habitat raflesia.

Pada tahun 1993, saat mereka menginjak usia remaja, sama seperti masyarakat Kepahiang lainnya yang mengetahui ada bunga raksasa itu sedang mekar, mereka akan memasang tanda plang bertuliskan ”Ada Rafflesia Mekar”.

Papan pengumuman dipasang di pinggir jalan. Pengendara yang lewat atau wisatawan alam yang tengah melintas jalan penghubung Kepahiang-Kota Bengkulu pasti akan tertarik dan berhenti.

”Sudah pasti mereka akan berhenti dan meminta kami menunjukkan bunga yang tengah mekar itu,” ujar Burmansyah.

Keinginan kuat melestarikan dan menjaga raflesia muncul tahun 1998. Pada tahun itu mereka menemukan bunga bangkai Amorphophallus titanum yang tersisa di antara lahan kritis di hutan lindung dekat rumah mereka.

Mereka menyelamatkan umbi Amorphophallus dan membawanya ke rumah di Desa Tebat Monok. Umbi seberat 65 kilogram mereka pecah-pecah dan tanam lagi sehingga menjadi tanaman baru.

Dari penyelamatan itu sampai sekarang, mereka sudah menanam empat dari 11 spesies Amorphophallus yang tumbuh endemik di Sumatera. Awal penyelamatan Amorphophallus itu akhirnya mendorong mereka untuk sekaligus menyelamatkan bunga Rafflesia arnoldii. Apalagi, bunga itu sudah ditetapkan sebagai bunga langka melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993.

Penjagaan bunga

Zul menuturkan, tahun 1998-2000 mereka kembali masuk dan keluar hutan lindung. Mereka mencari titik-titik tumbuh raflesia, membuat barak pangkalan penjagaan sekaligus mempelajari secara otodidak proses pembungaannya.

”Tahun itu, bahkan, sampai sekarang, ada saja orang jahil dan merusak raflesia,” ujar Zul.

Zul menceritakan, pada 1998, tepatnya saat malam takbiran, ia baru dua jam meninggalkan raflesia yang tengah mekar. Saat kembali ke pangkalan yang ia bangun dekat bunga yang mekar, ia mendapati bunga berdiameter 85 sentimeter itu sudah hilang.

Selain itu, mereka juga sering mendapati masyarakat yang jahil mencungkil bunga, mencacah-cacah kelopak bunga, bahkan memotong akar bunga hingga mati. ”Saya sangat kesal waktu itu,” ujar Zul.

Namun, seiring niat tulus mereka, kegiatan mencari titik tumbuh, menjaga tunas hingga mekar, serta mempelajari Rafflesia arnoldii tetap mereka lakukan. Sebagai pelestari mandiri dan tidak mendapatkan bantuan pendanaan dari mana pun, kegiatan menjaga raflesia mereka lakukan setelah menyelesaikan pekerjaan di kebun atau ladang mereka.

Empat saudara itu juga masih mau membagi kebahagiaan melihat dan mengamati raflesia meski hanya sesaat. Setiap kali ada bunga mekar, mereka pasti menginformasikan hal tersebut.

Ribuan wisatawan mancanegara dan domestik, yang datang berkunjung ke Tebat Monok, pasti meminta dipandu oleh empat saudara itu untuk melihat raflesia di dalam hutan. Sampai hari ini, ada 21 titik tumbuh raflesia yang mereka jaga.

”Kalau lokasi tempat 21 titik tumbuh itu dipastikan aman, medannya sulit dan jauh dari jalan,” ujar Zul.

Zul mengungkapkan, dengan melihat langsung Rafflesia arnoldii, selain menumbuhkan kepedulian, juga sekaligus meluruskan pemahaman masyarakat. Selama ini masyarakat memahami raflesia sebagai bunga bangkai dan itu salah. Bunga bangkai adalah Amorphophallus titanum.



Uji coba

Pada tahun 2003 empat bersaudara itu memindahkan area pelestarian Amorphophallus ke lahan kebun di tepi jalan lintas Kota Bengkulu-Kepahiang, Desa Tebat Monok, Kepahiang. Lahan itu di belakang rumah Zul itu itu diperoleh dari kedua orangtua mereka, Syamsudin (70) dan Sihawati (65), sebagai bentuk dukungan atas kegiatan anak-anaknya. Dengan adanya lahan itu, mereka juga bermimpi bisa menumbuhkan raflesia.

Jumadi menuturkan, tahun 2006, saat memutuskan membentuk kelompok pelestari bernama TPPL, mereka sudah mempelajari raflesia tumbuh di batang atau liana yang rebah di tanah dan berakar, bukan dari spora. Batang tersebut juga tumbuh dekat dengan sumber air atau di tanah yang mengandung air.

”Begitu lamanya waktu yang dibutuhkan satu bunga raflesia untuk mekar beberapa hari,” ujar Jumadi.

Ketika TPPL terbentuk dan yakin dengan pengamatan mereka selama ini, empat bersaudara itu berusaha menumbuhkan liana batang raflesia itu, di kebun di belakang rumah Zul. Mereka membuat setek dari batang itu dan menanamnya di kantong plastik (polybag). Beberapa setek kini sudah tumbuh.

Sayangnya, upaya pelestarian itu belum mendapat respons dari Pemkab Kepahiang atau Pemprov Bengkulu. Namun, tindakan pelestarian TPPL sudah mendapatkan respons dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu. BKSDA menilai positif tindakan itu dan mendukung mereka. Sementara Pemkab Kepahiang masih sebatas mengusulkan TPPL sebagai penerima Kalpataru 2010.

Mereka tidak terlalu berharap pada bantuan. Empat kakak-beradik itu tetap berpegang teguh pada niat tulus, melestarikan Rafflesia arnoldii yang sekarang nyaris punah.

BIODATA
• Nama: Holidin • Lahir: Bengkulu Selatan, 14 Mei 1967
• Nama : Zul Zum Dihamzah • Lahir: Bengkulu Selatan, 13 Mei 1970
• Nama: Burmansyah • Lahir: Bengkulu Selatan, 7 Agustus 1973
• Nama: Jumadi • Lahir: Kepahiang, 24 April 1981
• Pendidikan: Semua lulus SMA Kepahiang
• Pekerjaan: Petani kopi dan pelestari bunga Rafflesia arnoldii

Sumber :
Kompas
Helena F Nababan dan Agus Mulyadi

Kredit Foto :
Kompas
Google

Maret 07, 2010


Menurut Hatib Abdul Kadir, dalam bukunya "Mari Mendaki Gunung" gunung Merbabu berasal dari kata "Meru" yang berarti Gunung dan "Babu" yang berarti perempuan. Gunung ini secara geografis terletak pada 110º 26´ 22“ BT dan 7º 27´ 13“ LS dengan ketinggian mencapai ± 3.142 mdpl dan luas kawasan ± 5.725 Ha.

Wilayah Taman Nasional Gunung Merbabu mencakup 3 (tiga) wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Boyolali (sisi Selatan dan Timur), Kabupaten Semarang (sisi Utara) dan Kabupaten Magelang (sisi Barat). Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu seluas ± 5.725 hektar memiliki bagian utama berupa Gunung Merbabu dengan ketinggian ± 3.142 mdpl. dan puncaknya yang terkenal yaitu Puncak Kenteng Songo (± 3.142 mdpl) dan Puncak Syarif (± 3.119 mdpl). Gunung Merbabu memiliki banyak kawah, diantaranya yang dikenal adalah Kawah Condrodimuko, Kawah Kombang, Kawah Kendang, Kawah Rebab, dan Kawah Sambernyowo. Puncak Gunung Merbabu dapat ditempuh dari Kopeng (Salatiga) melalui Dusun Thekelan dengan jarak ± 6,25 km, dari Selo (Boyolali) melalui Dusun Genting dengan jarak ± 4 km, atau dari Pakis (Magelang) melalui Dusun Ketundan.

Bentuk dan struktur Gunung Merbabu sangatlah besar. Bagian puncaknya dapat dibagi menjadi tiga satuan yang merupakan sektor graben gunung api, yakni :
1.Graben Sari dengan arah timur tenggara – barat baratlaut.
2.Graben Guyangan dengan arah selatan baratdaya – utara timur
3.Graben Sipendok dengan arah barat laut – timur tenggara.

Beberapa peneliti terdahulu diantaranya adalah Junghun pada tahun 1850 dan Verbeek & Fennema pada tahun 1896. Menurut Verbeek & Fennema tahun 1896, telah menemukan hasil erupsi berupa lava basaliteris yang mengalir dalam sungai-sungai kecil diantara Boyolali dan Selo. Van Bemmelen, R.W. 1941, telah memetakan daerah Gunung Merbabu serta membagi beberapa satuan batuan hingga menjadi 9 diantaranya:
1.Kerucut Merbabu (terutama lava basaliteris andesitis dan breksi).
2.Dataran tinggi Kopeng yang diselimuti oleh lapisan abu.
3.Kaki kerucut Merbabu (terutama breksi lahar dan lava)
4.Aliran lava muda kerucut Merbabu (erupsi samping)
5.Kaki utara Merapi diselimuti oleh abu Gunung Merapi
6.Kawah (erupsi samping)
7.Erupsi pusat berupa aliran lava muda
8.Mofet dan solfatara di Gunung Merbabu.
9.Sisa struktur volkano – tektonik (sektor graben)

Berbagai tumbuhan yang terdapat di kawasan Gunung Merbabu, antara lain pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima noronhae), akasia (Acacia decurens), waru (Hibiscus sp.), kayu manis (Cynamomum burmanii), cengkeh (Syzigium aaromaticum), alpokat (Parsea americanai), sengon (Albizia falcataria), cemara gunung (Casuarina montana), dan bambu apus (Gigantochloa apus).
Kawasan Gunung Merbabu mempunyai 3 type ekosistem yaitu :
1.Ekosistem hutan hujan tropis musim pegunungan bawah (1.000 – 1.5000 m dpl), yang sebagian besar terdiri dari vegetasi sejenis yang merupakan hutan sekunder dengan jenis tanaman pinus (Pinus merkusii) dan puspa (Schima noronhae).
2.Ekosistem hutan hujan tropis musim pegunungan tinggi (1.500 - 2.400 m dpl), yang ditumbuhi jenis-jenis vegetasi antara lain akasia (Acacia decurens), puspa (Schima noronhae), sengon gunung (Albizia falcataria), sowo, tanganan dan pasang.
3.Ekosistem hutan tropis musim sub-alpin (2.400 – 3.142 m dpl) terletak pada pada Puncak Gunung Merbabu yang ditumbuhi rumput dan tanaman edelweis.



Dari pendataan Taman Nasional Gunung Merbabu ada beberapa margasatwa yang kerap ditemukan diantaranya adalah : Elang Jawa, Elang Hitam, Alap-alap Sapi, Elang Ular Bido, Ayam Hutan, Tekukur, Gelatik batu, kijang, landak, musang, luwak, monyet ekor panjang, macan tutul, dan lain-lain.

Secara umum pencapaian Puncak Gunung Merbabu terdapat dalam 4 rute yaitu jalur Selo, jalur Desa Cuntel, jalur Thekelan dan jalur Wekas.

Utara

Jalur Kopeng - Desa Cuntel

Untuk menuju ke Desa Cuntel dapat ditempuh dari Kota Salatiga menggunakan mini bus jurusan Salatiga Magelang turun di areal wisata Kopeng, tepatnya di Bumi Perkemahan Umbul Songo. Perjalanan dimulai dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak berbatu sejauh 2,5 km, di sebelah kiri adalah Bumi Perkemahan Umbul Songo. Setelah melewati Umbul Songo berbelok ke arah kiri, di sebelah kiri adalah hutan pinus setelah berjalan kira-kira 500 meter di sebelah kiri ada jalan setapak ke arah hutan pinus, jalur ini menuju ke Desa Thekelan. Untuk menuju ke Desa Cuntel berjalan terus mengikuti jalan berbatu hingga ujung. Banyak tanda penunjuk arah baik di sekitar desa maupun di jalur pendakian. Di Basecamp Desa Cuntel yang berada di tengah perkampungan ini, pendaki dapat beristirahat dan mengisi persediaan air.

Setelah meninggalkan perkampungan, perjalanan dilanjutkan dengan melintasi perkebunan penduduk. Jalur sudah mulai menanjak mendaki perbukitan yang banyak ditumbuhi pohon pinus. Setelah berjalan sekitar 30 menit dengan menyusuri bukit yang berliku-liku pendaki akan sampai di Pos Bayangan I. Dengan melintasi jalur yang masih serupa yakni menyusuri jalan berdebu yang diselingi dengan pohon-pohon pinus, sekitar 30 menit akan sampai di Pos Bayangan II. Di pos ini juga terdapat bangunan beratap untuk beristirahat.

Dari Pos I hingga Pos Pemancar jalur mulai terbuka, di kiri kanan jalur banyak ditumbuhi alang-alang. Sementara itu beberapa pohon pinus masih tumbuh dalam jarak yang berjauhan. Pos Pemancar atau sering juga di sebut Gunung Watu Tulis berada di ketinggian 2.896 mdpl. Di puncaknya terdapat stasiun pemancar relay. Di Pos ini banyak terdapat batu-batu besar sehingga dapat digunakan untuk berlindung dari angin kencang., Tampak di kejauhan Gunung Sumbing dan Gunung Sundoro, tampak Gunung Ungaran di belakang Gunung Telomoyo.

Jalur selanjutnya berupa turunan menuju Pos Helipad. Di sebelah kanan terbentang Gunung Kukusan yang di puncaknya berwarna putih seperti muntahan belerang yang telah mengering. Di depan mata terbentang kawah yang berwarna keputihan. Di sebelah kanan di dekat kawah terdapat sebuah mata air, pendaki harus dapat membedakan antara air minum dan air belerang.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Setelah itu akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Prengodalem) dan ke kanan menuju Puncak Kenteng Songo (Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Jalur Kopeng - Thekelan

Dari Jakarta bisa naik kereta api atau bus ke Semarang, Yogyakarta, atau Solo. Dilanjutkan dengan bus jurusan Solo-Semarang turun di Kota Salatiga, dilanjutkan dengan bus kecil ke Kopeng. Dari Yogyakarta naik bus ke Magelang, dilanjutkan dengan bus kecil ke Kopeng. Dari kopeng terdapat banyak jalur menuju ke puncak, namun lebih baik melewati Desa Thekelan karena terdapat Pos yang dapat memberikan informasi maupun berbagai bantuan yang diperlukan. Pos Thekelan dapat ditempuh melalui bumi perkemahan Umbul Songo. Di bumi perkemahan Umbul Songo Anda dapat beristirahat menunggu malam tiba, karena pendakian akan lebih baik dilakukan malam hari tiba dipuncak menjelang matahari terbit. Andapun dapat beristirahat di Pos Thekelan yang menyediakan tempat untuk tidur, terutama bila tidak membawa tenda. Dapat juga berkemah di Pos Pending karena di tiga tempat ini kita bisa memperoleh air bersih.

Perjalanan dari Pos Thekelan yang berada ditengah perkampungan penduduk, dimulai dengan melewati kebun penduduk dan hutan pinus. Dari sini kita dapat menyaksikan pemandangan yang sangat indah ke arah Gunung Telomoyo dan Rawa Pening. Di Pos Pending kita dapat menemukan mata air, juga kita akan menemukan sungai kecil (Kali Sowo). Sebelum mencapai Pos I kita akan melewati Pereng Putih kita harus berhati-hati karena sangat terjal. Kemudian kita melewati sungai kering.

Dari Pos I kita akan melewati hutan campuran menuju Pos II, menuju Pos III jalur mulai terbuka dan jalan mulai menanjak curam. Kita mendaki Gunung Pertapan, hempasan angin yang kencang sangat terasa, apalagi berada di tempat terbuka. Kita dapat berlindung di Watu Gubug, sebuah batu berlobang yang dapat dimasuki 5 orang. Bila ada badai sebaiknya tidak melanjutkan perjalanan karena sangat berbahaya.

Mendekati Pos IV kita mendaki Gunung Watu tulis jalur agak curam dan banyak pasir maupun kerikil kecil sehingga licin, angin kencang membawa debu dan pasir sehingga harus siap menutup mata bila ada angin kencang. Pos IV yang berada di puncak Gunung Watu Tulis dengan ketinggian mencapai 2.896 mdpl ini, disebut juga Pos Pemancar karena di puncaknya terdapat sebuah Pemancar Radio.

Menuju Pos V jalur menurun, pos ini dikelilingi bukit dan tebing yang indah. Kita dapat turun menuju Kawah Condrodimuko. Dan disini terdapat mata air, bedakan antara air minum dan air belerang.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan ke kanan menuju Puncak Kenteng Songo ( Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Dari Puncak Kenteng Songo kita dapat memandang Gunung Merapi. Ke arah barat tampak Gunung Sumbing dan Sundoro. Lebih dekat lagi tampak Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran. Dari kejauhan ke arah timur tampak Gunung Lawu dengan puncaknya yang memanjang.

Menuju Puncak Kenteng Songo ini jalurnya sangat berbahaya, selain sempit hanya berkisar 1 meter lebarnya dengan sisi kiri kanan jurang bebatuan tanpa pohon. Di puncak ini terdapat batu kenteng atau lumpang atau berlubang menuruni Gunung Merbabu .

Barat

Jalur Wekas

Untuk menuju ke Desa Wekas kita harus naik mobil Jurusan Kopeng – Magelang turun di Kaponan, yakni sekitar 9 Km dari Kopeng, tepatnya di depan gapura Desa Wekas. Dari Kaponan pendaki berjalan kaki melewati jalanan berbatu sejauh sekitar 3 Km menuju pos pendakian. Jalur ini sangat populer dikalangan para remaja dan pecinta alam Kota Magelang, karena lebih dekat dan banyak terdapat sumber air. Wekas merupakan desa terakhir menuju puncak yang memakan waktu kira-kira 6-7 jam. Jalur wekas merupakan jalur pendek sehingga jarang terdapat lintasan yang datar membentang. Lintasan pos I cukup lebar dengan bebatuan yang mendasarinya. Sepanjang perjalanan akan menemui ladang penduduk khas dataran tinggi yang ditanami bawang, kubis, wortel, dan tembakau, juga dapat ditemui ternak kelinci yang kotorannya digunakan sebagai pupuk. Rute menuju pos I cukup menanjak dengan waktu tempuh 2 jam.

Pos I merupakan sebuah dataran dengan sebuah balai sebagai tempat peristirahatan. Di sekitar area ini masih banyak terdapat warung dan rumah penduduk. Selepas pos I, perjalanan masih melewati ladang penduduk, kemudian masuk hutan pinus. Waktu tempuh menuju pos II adalah 2 jam, dengan jalur yang terus menanjak curam.

Pos II merupakan sebuah tempat yang terbuka dan datar, yang biasa didirikan hingga beberapa puluhan tenda. Pada area ini terdapat sumber air yang di salurkan melalui pipa-pipa besar yang ditampung pada sebuah bak.

Dari Pos II terdapat jalur buntu yang menuju ke sebuah sungai yang dijadikan sumber air bagi masyarakat sekitar Wekas hingga desa-desa di sekitarnya. Jalur ini mengikuti aliran pipa air menyusuri tepian jurang yang mengarah ke aliran sungai dibawah kawah. Terdapat dua buah aliran sungai yang sangat curam yang membentuk air terjun yang bertingkat-tingkat, sehingga menjadi suatu pemandangan yang sangat luar biasa dengan latar belakang kumpulan puncak - Puncak Gunung Merbabu.

Selepas Pos II jalur mulai terbuka hingga bertemu dengan persimpangan jalur Kopeng yang berada di atas Pos V (Watu Tulis), jalur Kopeng. Dari persimpangan ini menuju pos Helipad hanya memerlukan waktu tempuh 15 menit.

Suasana dan pemandangan di sekitar Pos Helipad ini sungguh sangat luar biasa. Di sebelah kanan terbentang Gunung Kukusan yang di puncaknya berwarna putih seperti muntahan belerang yang telah mengering. Di depan mata terbentang kawah yang berwarna keputihan. Di sebelah kanan di dekat kawah terdapat sebuah mata air, pendaki harus dapat membedakan antara air minum dan air belerang.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati tanjakan yang sangat terjal serta jurang di sisi kiri dan kanannya. Tanjakan ini dinamakan Jembatan Setan. Kemudian kita akan sampai di persimpangan, ke kiri menuju Puncak Syarif (Gunung Prengodalem) dan ke kanan menuju Puncak Kenteng Songo (Gunung Kenteng Songo) yang memanjang.

Dari Puncak Kenteng Songo kita dapat memandang Gunung Merapi. Ke arah barat tampak Gunung Sumbing dan Sundoro.



Selatan

Jalur Selo

Untuk mendaki ataupun turun Gunung Merbabu lewat jalur Selo sebaiknya membawa pemandu atau harus ada pendaki yang pernah melewati jalur ini. Hal ini disebabkan karena banyaknya percabangan yang bisa menyesatkan pendaki. Meskipun nantinya akan sampai di juga perkampungan, namun sulit sekali mencari kendaraan umum dan tidak ada sumber air. Selain itu jalur yang salah akan melintasi sisi jurang terjal yang sangat berbahaya.

Untuk menuju ke Selo bisa ditempuh dari Magelang atau dari Boyolali. Namun lebih mudah memperoleh kendaraan umum dari Boyolali. Untuk menuju ke Kota Boyolali dari Semarang naik bus ke Solo atau sebaliknya dari Solo naik bus jurusan Semarang turun di Kota Boyolali. Apabila dari Kota Yogyakarta harus naik bus jurusan Solo turun di Kartasura, kemudian ganti bus jurusan Solo Semarang turun di Kota Boyolali.

Untuk menuju ke Selo dari Kota Boyolali menggunakan bus kecil jurusan Selo. Bus yang langsung ke Selo agak jarang biasanya hanya sampai Pasar Cepogo, dan dari Pasar Cepogo ganti lagi bus kecil yang menuju Selo. Dari Kota Boyolali bus kecil yang menuju Selo ini tidak parkir di terminal Boyolali. Pendaki harus berjalan kaki ke Pasar Sapi di mana bus kecil jurusan Cepogo/Selo berhenti mencari penumpang. Di pasar ini terdapat patung sapi yang melambangkan industri peternakan sapi yang menjadi andalan pendapatan masyarakat Boyolali.

Setelah mendaftar di Kantor Polisi Selo, untuk menuju ke basecamp Gunung Merbabu, dari Selo tepatnya dari kantor Polisi, pendaki harus berjalan kaki menyusuri jalan aspal sekitar 1 jam. Melintasi perkampungan penduduk dan ladang-ladang yang berada di lereng-lereng terjal. Pendaki bisa menyewa mobil bak sayuran untuk menuju ke basecamp, atau bisa juga naik ojek.

Jalur pendakian masih cukup landai, namun akan banyak dijumpai pertigaan, maupun perempatan jalur yang menuju ke perkampungan penduduk, maupun jalur penduduk mencari kayu bakar dan rumput, untuk itu tetap pilih jalur yang paling lebar. Berjalan sekitar satu jam akan sampai di Mpitian yang berupa perempatan jalur.

Dari Mpitian masih agak landai melintasi hutan akan berjumpa dengan sungai kering yang berisi pasir. Setelah menyeberangi sungai kering jalur mulai agak menanjak namun masih melintasi hutan. Setelah berjalan sekitar satu jam dari sungai kering ini jalur terjal sekali meliuk mendaki bukit dan sampailah kita di Tikungan Macan.

Di Tikungan Macan ini kita bisa memandang ke bawah ke arah jurang yang masih diselimuti hutan yang lebat. Di Tikungan Macan ini pendaki yang turun bisa tersasar karena jalur yang sebenarnya berada di sisi samping bukan lurus ke bawah. Dari Tikungan Macan jalur mulai sedikit terbuka, namun masih melintasi hutan yang sudah tidak terlalu lebat lagi. Jalur mulai menanjak, setengah jam berikutnya jalur mulai agak sulit dan semakin terjal. Sekitar satu jam dari Tikungan Macan pendaki akan sampai di Batu Tulis. Batu Tulis adalah tempat terbuka yang cukup luas, di tengahnya terdapat sebuah batu yang cukup besar. Banyak terdapat Edelweiss yang tumbuh tinggi dan besar sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Pendaki yang turun Gunung Merbabu, di Batu Tulis ini terdapat juga jalur aliterernatif yang kelihatan sangat jelas namun sedikit mendaki bukit. Jalurnya berbahaya melintasi punggungan yang sempit dengan sisi jurang di kira dan kanan, sebaiknya tidak melewati jalur ini, tetaplah mengikuti jalur yang resmi.

Dari Batu Tulis, medan mulai terbuka berupa padang rumput yang sangat terjal dan berdebu. Bila di musim hujan jalur ini licin sekali sehingga perlu perjuangan sangat keras untuk merangkak ke bergerak ke atas. Puncak Gunung Merbabu masih belum kelihatan, pendaki masih harus melewati empat buah bukit yang terjal untuk sampai di Puncak Gunung Merbabu.

Sekitar 1 jam melintasi medan yang berat dan terjal pendaki akan sampai di puncak bukit, selanjutnya turun dan landai melintasi padang rumput.. Sedikit naik bukit dan kemudian turun lagi pendaki akan sampai di Jemblongan yakni sebuah tempat yang banyak di tumbuhi edelweis dalam ukuran besar dan rapat sehingga sehingga membentuk hutan yang rindang. Di sini adalah tempat terakhir yang bisa digunakan untuk berteduh dan beristirahat dengan nyaman, karena jalur selanjutnya berupa padang rumput terbuka yang kering dan sangat terjal, berdebu di musim kemarau dan sangat licin di musim hujan.

Dari Jemblongan kembali pendaki harus mendaki bukit yang terjal, licin dan berdebu. Puncak Gunung Merbabu masih belum kelihatan karena tertutup bukit. Di sisi kiri terdapat Gunung Kenong dan di sisi kanan terdapat Gunung Kukusan yang runcing dan terjal.

Setelah berjalan sekitar 1 jam akan tampak Puncak Gunung Merbabu. Bila kita berjalan dengan cermat sekitar sekitar 25 meter di sebelah kanan jalur akan kita temukan sebuah batu berlobang yang keramat. Sekitar 30 menit hingga 1 jam menapaki jalur padang rumput yang terjal dan berdebu untuk mencapai puncak tertinggi Gunung Merbabu. Setibanya di Puncak Gunung Merbabu, untuk menuju Puncak Kenteng Songo kita berjalan sekitar 10 menit ke arah Timur.

Di Puncak Kenteng Songo terdapat batu berlobang yang dikeramatkan masyarakat. Di puncak ini terdapat batu kenteng atau berlubang dengan jumlah 9 buah yang hanya bisa dilihat, menurut penglihatan paranormal. Mata biasa hanya melihat 4 buah batu berlobang. Dari Puncak Kenteng Songo kita dapat memandang Gunung Merapi. Ke arah barat tampak Gunung Sumbing dan Sundoro. Lebih dekat lagi tampak Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran. Dari kejauhan ke arah timur tampak Gunung Lawu dengan puncaknya yang memanjang.


Sumber :
Penjelajahan Merbabu 2009
Mari Mendaki Gunung - Hatib Abdul Kadir

Kredit Foto :
Penjelajahan Merbabu 2009
Google

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff