Februari 24, 2011

... Tak pernah menyongsong pagi di tempat yang sama

Seperti kemarin masih kami huni

Dan tak pernah menyambut fajar di tempat yang sama

Seperti kemarin kami akhiri.......

Pengembara (Khalil Gibran)

Petikan puisi karya Khalil Gibran diatas kurang lebih menggambarkan perjalanan kami bersepeda ke Labuan Bajo. Selama kurang lebih 15 hari tak pernah kami istirahat lebih dari semalam kecuali di Yogyakarta walaupun sebenarnya ada rencana untuk recovery di Taliwang dan Padangbai. Jadi kurang lebih aktivitas kami setiap hari seperti ini :

Jam 5 pagi bangun (pas bangun sok lupa lagi dimana yeuh), Jam 6 pagi sudah bergerak dari tempat istirahat dan langsung mencari pasar terdekat untuk sarapan. Setelah bahan bakar sudah terisi segera kami melanjutkan perjalanan ke kota tujuan kami hari itu. Biasanya setelah 2 jam perjalanan kami beristirahat sekitar 15 menit dan lanjut lagi gowess. Jarak tempuh perjalanan per hari rata – rata 150 km kalau diitung kecepatan 20 km/ jam + istirahat kami butuh waktu 9 jam. Biasanya kami tiba di kota tujuan pk.16.00. Yang pertama kali kami lakukan setelah tiba di kota tujuan adalah cari tempat bermalam. Kalau sudah ada kontak dari rekan2 di kota tujuan sudah aman, sisanya yang tidak ada kontak kami mencari losmen yang murah kalau tidak dapet juga ya Kantor polisi jadi sasaran kami seperti saat di Singaraja ,Bali hee:D

Kalau Perjalanan di Jawa, Bali dan , Lombok sih masih aman terkendali. Nah pulau Sumbawa yang jadi “ best part adventure”nya, oleh karena itu etape yang di Bali dan Lombok saya lewat dulu. Saya langsung loncat ke pulau yang menjadi bagian Provinsi Nusa Tenggara Barat ini.

Catatan Perjalanan Pulau Sumbawa (1)

Menyebrang dari Pelabuhan Kayangan ( Lombok) menuju Pelabuhan Poto Tano ( Pulau Sumbawa ) pk 13.00, 9 Februari 2011 menjadi langkah yang besar bagi perjalanan kami. Kalau masih di Bali atau Lombok mau putar balik ke jawa masih relatif dekat setelah sampai di Sumbawa “mau gag mau harus saya selesai nih ekspedisi”. Setelah membayar tiket fery sebesar 23.000 rupiah untuk golongan I yaitu sepeda kami menyebrang dari Lombok kurang lebih 2 jam dan keadaan saat kami menyebrang gelombang cukup besar sekitar 2 meter, rasanya seperti di ontang anting dalam kapal. Setiba di Pelabuhan Poto Tano saya takjub dengan pulau2 kecil di dekat pelabuhan dan pemandangan laut yang tampak biru. Hari pertama kami di Sumbawa adalah menuju kota Taliwang kediaman teh Yani ( adiknya Om Pei). Sebenarnya menuju kota Taliwang berbalik arah dengan arah perjalanan kami tapi kalau dipaksakan ke Sumbawa tampaknya akan sampai larut malam.


Dalam perjalanan menuju Taliwang perasaan saya yang tadinya takjub berubah jadi takut soalnya selama perjalanan jarang sekali orang apalagi rumah padahal jarak dari pelabuhan ke Kota Taliwang 20 km yang kami temui kebanyakan kambing dan kuda yang dibiarkan liar di padang sabana. Vegetasinya pun hanya sabana jarang pohon untuk tempat berteduh di jalan. Kebayang kalau lagi hari siang. Rekan perjalanan saya, Arif juga bilang “ mati dah kita di Sumbawa”, saya jawab “ lu aja sendiri, gw mah gag mau”. :D

Setelah satu jam dari pelabuhan akhirnya ketemu juga peradaban di kota Taliwang, dan saya heran kalau masyrakat Taliwang mempunya penghasilan ke-enam terbesar di Indonesia tidak sebanding dengan infrastruktur dan keadaan kota. Menemukkan rumah teh Yani pun mudah karena kotanya kecil, tepat di sebelah tempat cuci mobil yang keliatannya cuma satu2nya di kota itu. Setelah banyak mengobrol dengan teh Yani dan Pak Tito (suaminya) ternyata masyrakat di Taliwang penghasilanya terangkat oleh adanya Pt. Newmont yang mempunyai pertambangan emas di selatan kota Taliwang. Yang menjadi Ironi hanya sebagian masyarakat Taliwang yang bekerja di Newmont sisanya jauh dari hidup layak.

Lepas dari kehidupan sosial di kota Taliwang, Kuliner khas juga jadi incaran saya. Kebetulan Pak Tito membawa makanan yang disebut “Palopo” dari endapan susu kerbau yang di kasih kuah manis. Bentuknya kayak bubur sumsum tapi rasanya susu (aneh). Di Taliwang pula saya sadar kalau barang – barang kiriman dari Jawa seperti elektronik, kendaraan bermotor, bahan pangan, dan tentunya rokok harganya melonjak naik bisa 2 kali lipatnya. ( jadi weh nitip udud k om yud :D ).

Sekitar pukul 20.00 kami segera beristirahat, tahu kalau besok jadi perjalanan panjang dan berat. Rencana besok adalah kota sumbawa besar dengan jarak tempuh 130 km dari Taliwang. Mari kita lihat apa kotanya sebesar namanya hee.

Perjalanan hari ke 12 di kota Taliwang ini menjadi awal petualangan bersepeda kami di Pulau Sumbawa.

9 Februari 2011

YNBA.

Theodorus BNP

Februari 21, 2011


Berdasarkan data yang dirilis oleh Yayasan Lupus Indonesia, penderita Lupus yang terdeteksi di Indonesia jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 1998, penderita Lupus mencapai 586 orang dan pada tahun 2006 meningkat pesat menjadi 7.693 orang. Berarti penderita lupus di Indonesia bertambah sekitar 800 orang pertahun. Data terakhir yang diperoleh adalah pada tahun 2010 terdapat 10.314 odapus dan 9 dari 10 adalah perempuan.

Di masyarakat Indonesia, Lupus merupakan penyakit yang langka dengan jumlah relatif sedikit, dan pada umumnya masyarakat kita tidak banyak mengetahui penyakit ini. Pada penderita Lupus, produksi antibodi menjadi berlebihan sehingga menyerang jaringan sel dan tubuhnya sendiri dan dapat menyerang organ tubuh vital. Namun resiko lupus dapat dikendalikan dengan penanganan yang dini dan tepat, sehingga mereka dapat hidup dan beraktivitas dengan normal.

"Equatorial Peaks for Lupus" (E4L) yang dilakukan pada 16-31 Januari 2011 lalu merupakan misi pendakian sepuluh wanita demi penggalan dana bagi penderita lupus di tanah air. Mereka melakukan pendakian ke Gunung Cambaye di Ekuador, Amerika Selatan. Pendakian ini merupakan salah satu rangkaian misi pendakian tiga puncak tertinggi di ekuator, sebelumnya mereka melakukan pendakian ke puncak Kalapatar, Nepal pada tahun 2006, serta ke puncak Kilimanjaro, Tanzania pada tahun 2009.

Seluruh pendaki adalah perempuan berusia di atas 40 tahun. Mereka berasal dari berbagai latar profesi. Mereka adalah psikolog Ami KMD Saragih (46) sebagai ketua ekspedisi, Amalia Yunita (43), Diah Bisono (45), Veronica (47), Miranda Wiemar (43). Kemudian ikut serta pula Tejasari (42), Dwiastuti Soenardi (53), Heni Juhaeni (44), Myrnie Zachraini Tamin (47), serta seorang ibu ramah tangga Imas Emi Sufraeni (45). Dalam pendakian ini mereka akan didampingi oleh seorang pelatih tim, yang merupakan satu-satunya lelaki. Sedangkan satu-satunya pria yang menjadi pendamping pendakian adalah Rahmat Rukmantara, sebagai pelatih tim. Tim ini melakukan misi sejak 16 Januari 2011 hingga 1 Februari 2011.

Selain untuk misi kemanusiaan dalam rangka sosialisasi penyakit Lupus, serta penggalangan dana bagi odapus melalui Yayasan Lupus Indonesia (YLI), mereka juga ingin memberi inspirasi kepada masyarakat luas, khususnya perempuan. “Kami ingin membuktikan bahwa kami mampu melakukan sesuatu yang dianggap tidak mungkin bisa dilakukan oleh perempuan di usia 40 tahun ke atas,” ungkap Ami Saragih dalam jumpa pers di Jakarta.

Seluruh kisah perjalanan ekspedisi ke tiga Puncak Ekuator yang mereka lakukan tersebut, rencananya akan dituangkan ke dalam sebuah buku. Di mana hasil dari penjualan buku tersebut akan didonasikan untuk program sosialisasi penyakit Lupus, serta membantu para penderita Lupus (Odapus) yang kurang mampu.

Melalui pendakian ke Cayambe dan Chimborazo kali ini, YLI berharap dapat menarik perhatian masyarakat untuk mengetahui lebih jauh tentang penyakit Lupus. Serta yang tidak kalah pentingnya, yaitu dapat menggalang donasi dari berbagai pihak, seperti perusahaan, organisasi, maupun donatur perorangan.

Pencapaian pertama di Ekuador terjadi pada 25 Januari 2011, saat 10 pendaki ini melakukan pendakian selama 10 jam untuk menaklukan Gunung Cayambe. Dalam pendakian yang berlangsung sejak tengah malam hingga pukul 9.20 pagi waktu Ekuador atau pukul 21.20 WIB, akhirnya Veronica Moeliono (47) diikuti tiga pendaki yang tergabung dalam E4L berhasil mencapai puncak gunung.

"Saya terharu karena perjalanan pendakian ke puncak setinggi 1.000 meter ini dilakukan sejak jam 23.30 malam. Pendakian panjang yang sangat melelahkan, melalui gletser es terjal dan dinding es menjelang puncak," ujar Veronica dalam rilis yang diterima VIVAnews.com di Jakarta, Rabu 9 Februari 2011.

Sedangkan Gunung Cotopaxi berhasil mereka taklukan pada 28 Januari 2011. Saat pendakian keadaan cuaca tidak bersahabat, suhu di bawah nol derajat dan hujan turun terus menerus, menjadikan medan es lebih tebal dan cair. Selain itu ada tantangan batas waktu pendakian yang mengharuskan para pendaki bergerak cepat.

"Beruntung misi pendakian kami kali ini mendapat dukungan sponsor perusahaan suplemen kesehatan. Kami selalu mendapat tambahan tenaga, yang akhirnya bisa membantu kita menyelesaikan misi pendakian," kata Koordinator Tim, Ami Kadarharutami Saragih.

Pendapat Ami juga dibenarkan anggota tim lainnya, Amalia Yunita. "Kami belum pernah mendaki dua gunung sekaligus dengan masa istirahat hanya dua hari saja. Namun dengan meminum suplemen kesehatan, kami merasa penuh tenaga," katanya.

Gunung Cotopaxi adalah alternatif lain dari rencana semula tim ini akan menaklukkan Gunung Chimborazo (6300 meter) dengan lima puncaknya yang diakui sebagai gunung berapi tertinggi di Ekuador.

Perubahan rencana ini, karena pada saat itu salju telah menghilang dari Gunung Chimborazo dan hanya menyisakan bebatuan dan bongkahan es saja. "Kami tidak memiliki persiapan teknik memanjat gunung dengan kondisi seperti itu," kata Vera. (imt)

sumber viva news, national geographic Indonesia


Februari 16, 2011


Anda hobi mendaki gunung? Atau berencana menaklukkan puncak gunung akhir pekan nanti? Pastikan Anda menjalani persiapan yang benar agar perjalanan pendakian berlangsung mulus dan menyehatkan.

Pelatih fisik 10 pendaki wanita yang bergabung dalam tim Equatorial for Lupus (E4L), Rachmat Rukmantara, menyarankan, baik pemula ataupun pendaki berpengalaman perlu menjalani persiapan matang sebelum pendakian.

Latihan tiga bulan sebelum pendakian
Baik pendakian di ketinggian 2.000-3.000 meter atau di atas 4.000 meter, aturannya sama. Yakni, pendaki harus berlatih fisik tiga bulan sebelum pendakian. Latihan kekuatan dan daya tahan menjadi fokus utamanya. Namun memang intensitas latihan untuk pendakian dengan ketinggian di bawah 3.000 meter tipikal Gunung Gede, tidak sama dengan pendakian gunung dengan ketinggian di atas 4.000 meter, kata Rachmat.

Latihan pernafasan
Kadar oksigen di ketinggian di atas 5.000 meter semakin berkurang, hanya 40 persen, kata Rachmat. Oleh karena itu, teknik bernafas penting diperhatikan saat perjalanan pendakian. Kekurangan oksigen menimbulkan sejumlah risiko seperti udema perut yang ditandai dengan mulas, mual, dan muntah. Selain itu juga udema paru-paru.

Namun, kata Rachmat, risiko ini bisa teratasi bahkan dihindari jika latihan selama persiapan pendakian dilakukan dengan baik. Tujuan latihan fisik dan pernafasan di antaranya agar tubuh bisa menyerap oksigen lebih banyak dan daya tampung paru-paru lebih besar. Nah, latihan pernafasan ini penting dilakukan selama masa persiapan pendakian. Caranya, bangun pukul 05.00 dan jalan kaki. Lakukan juga peregangan dan latihan pernafasan seperti gerakan tai chi dengan lama waktu latihan 30 menit.

Strategi bernafas saat pendakian
Jika latihan fisik dan pernafasan sudah dilakukan dengan baik saat persiapan, imbangi juga dengan strategi bernafas saat pendakian. "Cara berjalan sesuaikan dengan nafas. Berjalan selama 10 jam kalau tidak dibarengi dengan cara bernafas yang benar, tubuh akan down," jelas Rachmat, usai jumpa pers bersama tim E4L beberapa waktu lalu.

Jalankan prinsip menyerang dan bertahan dalam pendakian, kata Rachmat. Artinya dalam pendakian atur waktu bertahan yakni melanjutkan perjalanan, dengan istirahat. Setiap satu jam perjalanan, berhenti 15 menit, jelas Rachmat. Saat berjalan gunakan nafas melalui perut atau diafragma, bukan melalui dada.

"Yoga atau tai chi menggunakan cara bernafas diafragma ini," katanya. Karena itulah, latihan pernafasan dengan tai chi saat latihan persiapan pendakian memengaruhi daya tahan saat pendakian nanti.

Sumber : Kompas

Februari 09, 2011

Rhabdothamnus solandri nzpcn.org.nz

Penulis: Yunanto Wiji Utomo

Kepunahan burung ternyata bisa memicu kepunahan tanaman berbunga. Mau tahu alasannya? Jadi, beberapa tanaman bunga ternyata sangat bergantung pada burung untuk membantu proses penyerbukannya. Jika burung absen, maka proses pernyerbukan yang mengawali perkembangbiakan terganggu dan akhirnya akan memicu kepunahan.

Fakta tersebut telah dijumpai pada herba Rhabdothamnus solandri yang banyak hidup di wilayah North Island, Selandia Baru. Populasi tanaman herba tersebut menurun drastis sejak hilangnya dua spesies burung dari wilayah itu, yakni Anthornis melanura dan Notiomystis cincta. Dua spesies tersebut punah setelah tikus diintroduksi pada tahun 1870 dan menjadi pemangsanya.

Sebelumnya, ilmuwan dari Universitas Canterbury di Christchurch, Selandia Baru, membandingkan tanaman herba yang ada di North Island dengan tanaman herba di tiga pulau kecil lain, di mana 2 spesies burung tersebut masih dijumpai. Mereka membantu penyerbukan 79 tanaman herba dan membandingkan hasilnya dengan penyerbukan alami.

Ilmuwan menemukan, 70 persen tanaman di North Island dan ketiga pulau lainnya yang penyerbukannya dibantu ilmuwan menghasilkan buah. Tanpa bantuan manusia, hanya 22 persen saja tanaman di North Islands yang menghasilkan buah. sementara di ketiga pulau lainnya, persentase tanaman yang berbuah tanpa bantuan mencapai 58 persen.

Selain itu, peneliti menjumpai bahwa ukuran buah yang dihasilkan oleh tanaman di North Island lebih kecil. Biji yang dihasilkan juga 84 persen lebih sedikit, bukti bahwa tanaman sebelumnya tak terserbuki dengan baik. Jumlah biji yang lebih sedikit tercermin dari ratio populasi tanaman muda dan tua yang tak seimbang.

Dave Kelly, peneliti yang melakukan riset ini mengatakan, manusia masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan Rhabdothamnus solandri dari kepunahan. "Kepunahan tumbuhan berlangsung lebih lambat dari kepunahan hewan, sebab tumbuhan bisa hidup lebih lama. Kita memiliki kesempatan untuk menyelamatkannya," katanya.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan, menurut Kelly, adalah mengembalikan populasi dua spesies burung ke wilayah North Island. Dengan demikian penyerbukan yang sempurna bisa berlangsung, membantu kelestarian spesies. Kelly memperkirakan bahwa tanaman herba yang kini berkurang populasinya bisa bertahan hingga 150 tahun.

Sementara itu, pakar burung dari Universitas Queensland di Brisbane, Australia, Martin Maron, mengatakan bahwa kejadian tersebut menggambarkan pentingnya peran burung. "(Kehilangan burung) tidak hanya kehilangan satu spesies dari muka bumi. Kehilangan spesies kunci di area tertentu bisa membuat ekosistem kolaps," katanya.

Sumber : Kompas

Februari 04, 2011


Tepat di tepi mulut lubang raksasa itu, 3 anak muda dengan sabar menunggu giliran untuk turun perlahan meniti lintasan tali yang telah terpasang. "Ropp fiiiiiii!!!!", suara itu sayup-sayup terdengar seolah mengukuhkan bahwa lubang itu sedemikian dalamnya. Tapi suara itu tidak asing dan maksudnya amat jelas "rope free", dan dengan hati-hati saya melepas kuncian dari descendeur lalu menggantungkan 'harapan' saya pada seutas tali berdiameter 1.2 cm yang menjulur ke dalam perut bumi...



Gunung Sewu yang dikenal juga dengan 'seribu gunung' merupakan perbukitan karst yang membujur dari Gunung Kidul, Jawa Tengah sampai kawasan Pacitan, Jawa Timur. Perbukitan yang memiliki morfologi yang khas seperti mangkuk terbalik atau istilah geologinya chonicle karst atau pepino hills ini jika dilihat dari foto udara akan menyerupai ular yang tubuhnya berlekuk-lekuk seperti tabiat ular pada umumnya. Daerah ini mendominasi Pegunungan Selatan Jawa begitu pula saudaranya di daerah Sukabumi, Jawa Barat dan sekitarnya. Entah mengapa namanya Gunung Sewu. Apakah jumlahnya benar-benar seribu? Atau lebih bahkan kurang dari seribu? Tapi yang jelas saya berada di salah satu segmen 'ular' dari ribuan segmen 'ular' tersebut.

Hari ke 4 di bulan Agustus tahun 2009, tepatnya di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul. Pagi-pagi benar ketika matahari belum tampak, puluhan anak muda disibukkan dengan segala kebutuhan penelusuran gua yang akan digunakan selama kurang lebih 10 jam. Di atas tanah tandus dengan beralaskan fly sheet tersusun rapih tali static kernmantle, yaitu sejenis tali khusus untuk kegiatan tebing terjal yang mampu menahan beban sampai puluhan kilogram bahkan ratusan. Sebenarnya ada 2 jenis tali kernmantle, yang satu statis dan yang lainnya dinamis. Namun untuk kegiatan khusus seperti ini, kami menggunakan tali statis demi keselamatan dan kenyamanan. Dengan cepat Kaka, pria berdarah Ambon ini, menggulung tali tersebut rapih dan meletakkannya di atas pundak kirinya. Kaka adalah salah satu bagian dari tim kami yang beranggotakan 6 orang. Baik Kaka, saya, dan 4 orang lainnya sama sekali minim pengalaman tentang kegiatan penelusuran gua. Untungnya, selama 3 hari yang lalu kami sudah melakukan simulasi penelusuran di salah satu pohon yang berdiri tegak di atas tanah yang tandus ini.

Bersama Kang Bambang, bertujuh kami menapaki jalan setapak yang tandus ini menuju gua yang dimaksud. Dengan overall yang menutupi tubuh kami dan segala peralatan yang menggantung sana-sini di tubuh, kami menyapa sapa saja termasuk warga yang sedang mengolah lahan di sekitar sini. Miris, melihat kondisi lahan yang tandus. Sedikit harapan untuk mengubah lahan ini menjadi hidup. Tidak banyak vegetasi yang bisa tumbuh disini dan tidak banyak pula warga yang hidup di sini. Kecuali mereka yang telah menjadi ahli waris tanah dari leluhur mereka yang lebih dulu ada di sini. "Pagi Pak!!! Permisi...", kataku semangat. "Monggo!", jawab lelaki tua itu yang rambutnya telah putih dimakan usia seraya tersenyum. Sepanjang perjalanan saya menduga-duga bahwa dalam pikiran lelaki tua itu kami lebih mirip para pekerja tambang bawah tanah atau badut yang entah menghibur siapa.

Datang ke tempat ini untuk menantang maut lalu terkubur di tengah kegelapan yang sunyi di bawah sana. Saya pun hanya tertawa kecil. "Edan!", kata Bowo. Ucapan Bowo tersebut sekaligus menyadarkan saya bahwa mulut gua ada di depan kami setelah 15 menit kami berjalan. Luweng Grubug nama tempat itu. Luweng berarti liang atau gua. Ya, Gua Grubug. Tapi lebih pantas memang dengan nama Luweng Grubug yang lebih bisa memacu datangnya imajinasi tentang sosok gua tersebut. Ada kabar burung bahwa dahulu gua ini merupakan tempat pembuangan orang-orang PKI. "Mudah-mudahan tidak demikian", batinku menjawab.

Dengan cekatan, saya dibantu 2 orang lainnya mengulur tali kernmantle tersebut. Sementara 3 orang lainnya menyiapkan webbing sling, carabiner, dan keperluan lainnya untuk siap menuruni gua itu. Kang Bambang hari itu mengawasi kami dan memberikan arahan agar kami bisa memasang instalasi dengan aman dan nyaman. Saya dibantu Kaka memasang anchor tepat di sisi mulut gua sebelah timur. Diameter mulut Luweng Grubug kira-kira 4-5 meter dan entrance atau pintu masuk yang kami pasang tepat di mulut gua sebelah timur. "Kedalamannya kurang lebih 80 meter vertikal", kata Kang Bambang yang jam terbangnya tak terhitung banyaknya. Tali yang kami bawa panjangnya 100 meter dengan diameter tali 1.2 cm, standar untuk kegiatan caving. Jarak mulut gua dengan main anchor 2 meter, sedangkan dengan back up anchor 7 meter. Jarak 2 meter itu kami manfaatkan untuk memasang tali lintasan ke descendeur kami. Setelah yakin lintasan yang akan kami lewati, satu persatu dari kami terdiam.


"Untuk mengawali kegiatan ini, marilah kita berdoa.. Berdoa mulai", sahut seorang dari kami yang sadar dengan kondisi 6 manusia saat itu. "Selesai!", katanya. Lalu dengan perlahan-lahan satu-persatu dari kami masuk melewati mulut gua yang pengap, gelap, dan sunyi. Alat penerangan sudah kami persiapkan berserta cadangannya. 4 orang tim termasuk Kang Bambang telah berada di dasar dari Luweng Grubug. Dari atas kami mengamati 4 orang yang telah lebih dulu berada di bawah sana. Hanya sekelibat cahaya kecil yang teramati olehku. Bahkan kadang tak terlihat sama sekali dari atas sini. Descendeur yang menempel pada delta MR di tubuh saya masih terkunci. Artinya saya tidak akan meluncur bebas ke bawah kecuali secara sengaja lilitan demi lilitan tali dibuka lalu meluncur ke bawah, terantuk, dan tidak jelas bentuknya.


Tepat di tepi mulut lubang raksasa itu, 3 anak muda dengan sabar menunggu giliran untuk turun perlahan meniti lintasan tali yang telah terpasang. "Ropp fiiiiiii!!!!", suara itu sayup-sayup terdengar seolah mengukuhkan bahwa lubang itu sedemikian dalamnya. Tapi suara itu tidak asing dan maksudnya amat jelas "rope free", dan dengan hati-hati saya melepas kuncian dari descendeur lalu menggantungkan 'harapan' saya pada seutas tali berdiameter 1.2 cm yang menjulur ke dalam perut bumi... Pelan-pelan saya mengendalikan descendeur agar tidak terlalu cepat meluncur ke bawah. Dengan bantuan headlamp, saya masih bisa mengontrol laju turunnya. Tidak terlihat apa-apa, tapi saya dapat merasakan begitu besarnya lorong vertikal ini bahkan semakin membesar ke arah dasarnya. Hanya suara gemuruh sungai bawah tanah yang deras dan gesekan antara tali dengan descendeur yang terdengar di telinga. Ini adalah gua terdalam yang pernah saya telusuri. Bayangkan, 80 meter ketinggiannya!! Kira-kira 15 menit kemudian saya tiba di dasar dari Luweng Grubug. Saya amat takjub dengan ruangan yang amat sangat besar. Kelak saya mengetahui bahwa istilah ruangan itu adalah chamber atau dapur raksasa.

"Rope free!!!!", teriakku. Kemudian dari atas meluncur seorang demi seorang. Kami semua telah berkumpul di bawah. Nyala api menyulut gas asetilen di ujung helm seorang dari kami. Gas ini terbentuk dari reaksi karbit dengan air di dalam tabung yang menghasilkan gas dan disalurkan melalui selang panjang ke ujung helm. Daerah di sekitar kami cukup terang selain dibantu oleh cahaya matahari yang sengaja masuk bersama kami ke dalam gelapnnya Grubug. Tepat di belakang kami terdapat interior gua yang sangat indah, flowstone, tersusun atas material calcite hasil pelarutan batu gamping yang tertumpuk menyerupai adonan berbentuk kuncup bunga terbalik.

Lalu kami berjalan menelusuri gua ini. Kami tiba di lorong lain yang horizontal. Lorong horizontal ini menghubungkan dasar Luweng Grubug dan Luweng Jomblang. Masih banyak lorong-lorong misterius sepengamatan saya. Tapi kami memiliki keterbatasan waktu di dalam sini. Tanpa pikir panjang, kami langsung melakukan pemetaan gua. Mengukur ketinggian, lebar, azimuth, dan kemiringan lereng dari satu station ke station yang lain. Kurang lebih 4 jam kami berada di lorong horizontal itu tanpa makan dan minum. Tibalah kami di satu lorong yang menampakkan cahaya. Seolah-olah merupakan harapan bagi kami di tengah liang tak bertuan.

Semua lorong di bawah sini hanya dihuni oleh beberapa makhluk gua mulai dari yang memiliki mata sampai yang tidak memiliki mata, dari yang transparan sampai yang tidak tembus cahaya, dari binatang yang melata sampai binatang yang berenang di teduhnya air, dan makhluk yang menempel di dinding gua itu. Cahaya itu merupakan isyarat bagi kami yang memanggil-manggil kami dari kejauhan. Di dalam kegelapan ini ada ketenangan sekaligus harapan. Harapan untuk tetap hidup bertahan sebagaimana makhluk-makhluk perut bumi di lorong maut ini bertahan. Sore itu kami tutup perjalanan kami dengan sebungkus nasi lima ribuan dan air mineral yang kami persiapkan sebelum turun ke sini. Lalu bergegas naik melewati lintasan yang sama untuk menjalani kehidupan kami yang nyata, penuh hiruk pikuk, jauh dari segala ketenangan dan keheningan yang penuh harapan di bawah sana.........


S.184 FRB

Sumber foto :


 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff