Agustus 14, 2012



Sekelompok ilmuwan menyatakan bahwa laut es Arktik meleleh lebih cepat dari perkiraan dengan laju pencairan es 50 persen lebih tinggi dari perkiraan ahli lingkungan. 

The Daily Mail mengutip pernyataan Badan Antariksa Eropa yang menyatakan bahwa menurut pantauan satelit 900 kilometer kubik es Arktik menghilang tahun lalu.

"Hasil analisis awal data kami menunjukkan bahwa laju penurunan bolume es di Arktik bisa jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya," kata Dr Seymour Laxon dari Centre for Polar Observation and Modelling di University College London (UCL), dimana data CryoSat-2 dianalisis.

Jika perkiraan itu terbukti benar maka perlahan kawasan itu akan bebas es.

Para ilmuwan meluncurkan CryoSat-2 tahun 2010 khusus untuk mempelajari ketebalan es dan kemudian kebanyakan studi difokuskan pada tutupan es.

Kapal selam juga digunakan untuk menganalisis es Arktik, yang dikatakan akan memberikan gambaran perubahan es di sekitar kutub utara sejak 2004. 

Hasil studi mengungkap bahwa kedalaman es sudah mengalami penurunan. Menurut data hasil eksplorasi menggunakan CryoSat, pada musim dingin 2004, volume es di tengah Arktik mendekati 17.000 kilometer kubik namun musim dingin kali ini volumenya tinggal 14.000 kilometer kubik. 

Volume es yang pada musim panas tahun 2004 mencapai 13.000 kilometer kubik juga menurun jadi 7.000 kilometer kubik pada musim panas tahun ini.

"Sebelum menggunakan teknologi CryoSat-2, kami bisa melihat tutupan es di Arktik pada musim panas menurun. Tapi kami hanya melihat sekilas apa yang terjadi pada ketebalan es. Terlihat jelas pula penurunannya, penurunan es pada musim panas bahkan tampak makin nyata," kata Prof. Chris Rapley dari UCL.

Temuan itu terungkap setelah publikasi hasil penelitian Universitas Kopenhagen awal bulan ini yang menyatakan bahwa es di kawasan Greenland tidak lebih rentan mencair dari perkiraan.

Beberapa foto yang diambil dari udara menggambarkan penipisan es gletser di sebelah utara Greenland dari tahun 1985 sampai 1993. Sementara pencairan es terlihat sejak 2005-2010, demikian menurut tulisan ahli dari Denmark, Inggris dan Belanda. 

Namun dalam pernyataan di jurnal Science, ketua peneliti Kurt Kjaer mengatakan masih terlalu dini untuk menyebut "masa akhir lapisan es" disebabkan oleh pemanasan global.

Tinggi permukaan air laut diperkirakan akan naik hingga tujuh meter jika semua es di kawasan Greenland meleleh.

(tri)

Editor: Maryati

Sumber : Antara

Agustus 07, 2012



Sebagian orang berasumsi, Amelia Earhart disandera Jepang di Kepulauan Marshall, Samudra Pasifik.

Hilangnya Amelia Earhart, pilot pertama asal Amerika yang dinyatakan hilang 2 Juli 1937 di pulau Nikumaroro, sebelah barat Samudera Pasifik masih menjadi misteri. Berbagai pencarian terus dilakukan di sekitar lokasi yang diduga sebagai tempat hilangnya pesawat naas Amelia bersama sang navigator, Fred Noonan.

Peristiwa ini akhirnya menimbulkan beberapa spekulasi dan teori. Teori pertama menyatakan, Earhart terdampar di Nikumaroro. Direktur Ekskutif International Group for Historic Aircraft Recovery (TIGHAR) Richard Gillespie memperkirakan bahwa pesawat yang dikendarai Earhart kehabisan bahan bakar saat menuju Howland.

Ia ingin melakukan pendaratan darurat di pulau Phoenix, namun keliru jalannya. Penyelidikan TIGHAR memperkuat teori ini, bahwa mereka telah menemukan catatan asli dari kecelakaan pesawat pada awal 1939 di Nikumaroro. Isi laporan terdiri atas pria dan wanita yang cocok dengan deskripsi dari Earhart dan Noonan.

Teori kedua, kecelakaan terjadi di laut yang lokasinya dekat dengan tempat tujuan yaitu Howland. Sepuluh tahun lalu Nauticos, perusahaan yang bergerak dalam bidang penelitian dan pencarian pada laut dalam, melakukan upaya menemukan pesawat Earhart yang dipercayai jatuh di Samudra Pasifik.

Presiden Nauticos David Jourdan pada tahun 2003 mengungkapkan, karena transmisi radio yang rusak dan pasokan bahan bakar menyebabkan pesawat ini naas di lokasi dekat tujuan mereka.

Teori ketiga, ditengarai adanya konspirasi. Earhart dan Noonan disandera Jepang di kepulauan Marshall, Samudra Pasifik, karena dianggap sebagai mata-mata AS. Sebagian orang mempercayai bahwa mereka berdua telah tewas. Namun, sebagian lainnya berasumsi mereka kembali ke AS dan mengubah identitas.

Kabar lain menyebut Earhart mengganti namanya menjadi Irene Craigmile. Kemudian menikah dengan Guy Bolam dan mengambil nama belakang suaminya. Ia akhirnya meninggal di New Jersey pada tahun 1982.

"Jika dia (Earhart) tidak bisa menemukan Howland, rencana cadangannya adalah memotong komunikasi dan menuju Kepulauan Marshall dan menjatuhkan pesawat di sana," ungkap C Rollin Reineck, pensiunan kolonel Angkatan Udara AS yang tinggal di Kailua, Hawaii, pada tahun 2003 lalu.

Dalam bukunya yang berjudul "Amelia Earhart Survived", Reineck memaparkan Earhart menghilangkan pesawatnya di Kepulauan Marshall atas alasan keamanan nasional. Skema ini memungkinkan pemerintah AS untuk menyelamatkan Earhart dan pada saat yang sama melakukan pengintaian sebelum perang di Jepang.

Analisis yang dilakukan Reineck telah menetapkan bahwa foto dari Irene Bolam, tulisan tangan, dan bukti forensik lain menunjukkan adanya keterkaitan dengan Amelia Earhart.

Ekpedisi pencarian atas jasad wanita yang lahir yang lahir pada 24 Juli 1897 itu kembali dilakukan baru-baru ini. Tepat dilakukan pada ulang tahun Amelia Earhart yang ke 115 di tahun 2012. Google bahkan menjadikannya sebagai doodle di tanggal tersebut.

Ekspedisi ini disebut "Niku VII," memakan biaya US$ 2,2 juta yang didanai oleh TIGHAR, dan direncankan berjalan selama sepuluh hari. Namun, kendala peralatan dan kondisi lingkungan bawah laut Nikumaroro, memaksa mereka memangkas waktu pencarian.

Tim ekpedisi kembali ke Hawaii, melakukan pencarian melalui sonar (sound navigation and ranging), dan menggunakan video di sekitar wilayah Nikumaroro. Dalam pernyataan online, pihak TIGHAR menyatakan kekecewaannya karena tidak mendapatkan penemuan yang pasti.

(Umi Rasmi. Sumber: National Geographic News)
Sumber : NGI

Agustus 06, 2012


Kini sudah tidak ada lagi kita bisa menemukan keberadaan kelompok kambing hutan dan kijang di bentang hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Senamat Ulu.

Jambi (ANTARA News) - Pejabat Pemerintahan Desa Senamat Ulu Kabupaten Bungo mengungkapkan saat ini keberadaan satwa langka khas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seperti kambing hutan, rusa dan kijang tidak dapat ditemui lagi.

"Kini sudah tidak ada lagi kita bisa menemukan keberadaan kelompok kambing hutan dan kijang di bentang hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) di Senamat Ulu tersebut, kini sudah habis dikonversi hingga lebih 30 hektar," kata Rio atau Kades Senamat Ulu, Jefri SPd I di Jambi, Rabu.

Padahal, kata Jefri, hutan lindung Bujang Raba adalah hutan berstatus hutan konservasi sebagai penyangga TNKS.

"Dulu ada banyak satwa langka yang sampai bermain masuk ke kampung kita seperti kijang, rusa, beruang bahkan kambing hutan, datang bahkan berbaur dan bermain dengan ternak warga, kini semua hewan itu sudah tidak pernah lagi terlihat semenjak 2009 lalu Bujang Raba di tebang perusahaan Malaka Agro Perkasa (MAP) dan dua perusahaan grupnya," ujar Jefri.

Sebagai hutan lindung penyangga TNKS satwa-satwa TNKS memang memiliki teritorial sampai ke Desa Senamat Ulu dan 7 desa di sekitarnya, termasuk merupakan teritorial bagi satwa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumtrea).

Karena terdesak, maka satwa herbivora termasuk kambing hutan lari masuk ke dalam hutan TNKS, sementara predator dan karnivora seperti harimau tidak bisa kembali masuk ke dalam hutan TNKS tersebut karena di dalam telah ada harimau lain.

"Harimau yang memiliki wilayah jelajah sampai 20 kilometer itu terdesak menghadapi dilema yang sulit, jika memilih masuk ke hutan TNKS maka mereka berisiko harus bertarung mati-matian dengan harimau lain yang lebih dulu berada di tempat itu," kata Jefri.

Sementara, tambah dia, jika mereka bertahan atau keluar dari kawasan yang dikonversi maka mereka akan terjebak masuk ke dalam kebun-kebun karet dan sawit milik warga yang berisiko terjadinya konflik dengan manusia.

(ANT-144)
Editor: Ella Syafputri
Sumber : Antara

Agustus 05, 2012




Peningkatan frekuensi dan intensitas badai musim panas akibat pemanasan global dapat menciptakan lubang-lubang baru pada lapisan ozon.


Dari beberapa penelitian dikatakan, fenomena badai musim panas mengarah kepada berkurangnya lapisan ozon yang melindungi Bumi dari pancaran radiasi sinar ultraviolet. Badai akan menghasilkan lebih banyak uap air—yang berpotensi sebagai gas rumah kaca, ke stratosfer yang merupakan lapisan tengah dari atmosfer (sekitar 14-35 kilometer di atas permukaan Bumi).


James Anderson, seorang kimiawan atmosfer dari Harvard University menjelaskan bahwa kondisi seperti itu, meski belum terkonfirmasi, akan mampu untuk menyebabkan kehilangan ozon fatal (greater ozone loss). "Berdasarkan observasi terbaru, pada kondisi yang baik, uap air memicu reaksi kimia yang menipiskan lapisan ozon," tuturnya menambahkan.


Serangkaian penelitian Anderson dan para rekannya di Amerika Serikat menyimpulkan, bahwa unsur kimiawi di Kutub Utara saat ini berada pada tingkatan mendekati sangat potensial untuk menghancurkan ozon.






Pada penelitian yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Science ini, diperhitungkan hilangnya ozon adalah 4 hingga 6 persen per hari di area stratosfer yang kaya uap air. Dampak tersebut bertahan selama beberapa minggu setelah badai.


Padahal para pakar mengatakan, bahkan reduksi minim dari lapisan ozon bisa memiliki dampak signifikan, yakni membuat orang-orang makin rentan terpapar kanker kulit dan kerusakan mata.


(Gloria Samantha)


Sumber: National Geographic Indonesia

Agustus 04, 2012






Taman Nasional Gunung Halimun Salak berisi hamparan pepohonan yang rapat mendominasi pemandangan. Kabut kerap menutupi puncak dan lereng.


Kawasan Gunung Halimun-Salak berpotensi digarap jadi objek wisata alam. Lokasi yang bisa ditempuh empat hingga lima jam dengan mobil dari Jakarta ini bisa menjadi alternatif selain kawasan Puncak, Bogor.


Apalagi, melalui rencana tata ruang wilayah Bogor, hutan lindung puncak bakal hilang akibat alih fungsi lahan. Dibutuhkan pengelolaan berkelanjutan agar ekowisata di Halimun Salak menguntungkan warga dan minim gangguan ekosistem.


Saat mengikuti survei udara yang dilakukan Sustanaible Management Group (SMG) dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Rabu (25/7), hamparan pepohonan yang rapat mendominasi pemandangan. Kabut kerap menutupi puncak dan lereng pegunungan.


"Woaw, this is amazing," kata Hitesh Maketa, pakar perencanaan lanskap asal AS. Penerbangan juga diikuti Nigel Tucker, ahli biodiversitas flora asal Australia.


Tampak pula hamparan perkebunan teh serta sawah yang berimpitan dengan kawasan hutan konservasi. Menjelang mendarat di lapangan Desa Lebak Sangka, Lebak, Banten, tampak ratusan tenda sepanjang aliran sungai yang dihuni para petambang emas.


SMG bersama Kementerian Kehutanan melibatkan Aneka Tambang (perusahaan tambang emas di TNGHS) serta warga setempat menggarap Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH).




Chairman SMG David Makes yang juga Ketua Asosiasi Pariwisata Alam Indonesia menjelaskan, PKKH membuat TNGHS menjadi pusat pendidikan, penelitian, wisata, dan jasa lingkungan. Warga diberdayakan agar mampu mengintensifkan pemakaian lahan.


Kepala TNGHS Agus Priambudi yang ditemui di Kampung Sukagalih, Kecamatam Kabandungan, Sukabumi, mengatakan sangat mendukung penyusunan rencana induk PKKH.
(Zika Zakiya)


Sumber : National Geographic Indonesia




Agustus 03, 2012

Hiu ini termasuk spesies langka dan statusnya terancam punah. Di Australia, jumlah hiu ini sekitar 200-400 ekor



 NGI - Hiu tutul atau disebut hiu paus (whale shark) terdampar di pantai baru Pandansimo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (1/8), kemarin. Hiu ini memiliki panjang sekitar 13 meter, lebar tiga meter, sirip empat meter, dengan berat tiga ton.


Menurut Program Manager Animal Friends Jogja Dessy Zahara Angelina, hiu tutul tersebut sudah sampai pantai sekitar pukul 18.00 WIB dalam keadaan hidup. Namun, karena perlakukan warga sekitar yang tidak benar yakni mengikat ekor dan menyeret ke daratan maka hiu ini akhirnya mati.


Berdasarkan pengamatan awal, hiu ini berasal dari Australia dan terseret ketika sedang mencari makanan. Tak hanya itu, hiu ini juga diperkirakan mengalami disorientasi karena perubahan iklim drastis. Dessy melanjutkan, hiu ini adalah jenis ikan yang memiliki tubuh terbesar dan hidup di perairan basah dan tropis. Hiu ini memakan plankton dan tidak berbahaya bagi manusia.


Di Australia, hiu ini dilindungi karena keberadaannya sudah terancam di punah yakni sekitar 200-400 ekor. Namun, di Indonesia, hiu ini belum masuk sebagai hewan laut yang harus dilindungi.


Hingga sekarang, kata Dessy, keadaan hiu ini masih terdampar di bibir pantai dan mendapat perlakukan tidak etis dari masyarakat. Karena merupakan penemuan baru dan pertama, maka warga yang menonton justru mencongkel mata hiu dan menginjak-injak tubuhnya. Bahkan, warga pun ingin memotong-motong tubuhnya dan bermaksud menjualnya.


“Kami sangat berharap hiu ini segera mendapatkan pengamanan. Tadi ada yang mengusulkan agar hiu tersebut dijadikan sumber edukasi di universitas. Namun, hingga saat ini belum ada pihak pemerintah atau kepolisian yang mengambil tindakan atas hiu ini,” ungkapnya.


Suparman salah satu anggota Tim SAR Pantai Baru Pandansimo menambahkan, saat ini hiu ini tengah dijaga pihak SAR agar tidak dijarah oleh warga sekitar.


“Potongan tubuh hiu ini terutama siripnya sangat mahal. Untuk itulah, perlu penjagaan ketat terhadap hiu ini,” ungkapnya.


Beberapa hari sebelumnya, paus jenis sperm whale juga tewas di perairan Indonesia. Paus ini terdampar di Pantai Tanjung Pakis, Pakis Jaya, Karawang, Jawa Barat, Jumat (27/7). Meski berhasil diselamatkan dari Pantai Tanjung Pakis, paus ini ditemukan tewas beberapa jam kemudian di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. 


(Olivia Lewi Pramesti
Sumber : National Geographic Indonesia



QUEENSLAND, KOMPAS.com - Upaya penelitian dengan mengebor dasar laut Antartika membuahkan hasil yang tak terduga. Ilmuwan menemukan bahwa hutan hujan tropis terdapat di Antartika 52 juta tahun yang lalu.


Dalam studi tersebut, dengan jalan pengeboran di wilayah timur Antartika, ilmuwan menemukan fosil pollen milik tanaman tropis yang menutupi benua Antartika pada masa Eocene, sekitar 34 - 56 juta tahun yang lalu.


Kevin Welsh, peneliti asal Australia yang melakukan riset tahun 2010 mengungkapkan, analisis molekul yang sensitif temperatur yang dilakukan menunjukkan bahwa temperatur Antartika sangat hangat 52 juta tahun lalu, sekitar 20 derajat Celsius.


"Dulu ada hutan di daratan, tak akan mungkin ada es, saat itu akan sangat hangat," kata Welsh seperti dikutip AFP, Kamis (2/7/2012). 


"Ini cukup meyakinkan, sebab pastinya imajinasi kita tentang Antartika adalah lingkungan yang dingin dan penuh es," tambah Welsh.


Welsh menuturkan, level karbon dioksida (CO2) di atmosfer diperkirakan menjadi faktor pemicu adanya hutan hujan tropis di Antartika. Kadar CO2 saat itu diperkirakan mencapai 990 hingga beberapa ribu ppm (parts per million).


Sebagai perbandingan, CO2 saat ini diperkirakan sekitar 395 ppm. Prediksi paling ekstrim dari Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menjelaskan bahwa es akan sangat surut di Antartika pada akhir abad ini.


Welsh meng merupakan pakar palaeoklimatologi menjelaskan, penemuan kali ini sangat penting untuk memahami dampak perubahan iklim, terutama menjelaskan seberapa banyak air yang disimpan di Antartika dalam bentuk es di permukaannya.


"Ini menunjukkan bahwa jika kita melewati periode dimana konsentrasi CO2 di atmosfer makin tinggi, sangat mungkin akan ada perubahan dramatis di area yang sangat penting dimana es eksis ini," papar Welsh.


"Kalau kita kehilangan banyak es di Antartika maka kemudian kita akan melihat perubahan dramatis pada ketinggian permukaan laut di seluruh planet ini," tambahnya.


Kehilangan es dan permukaan air laut naik akan menyebabkan banyak daratan hilang. Selain itu, Bumi juga kehilangan salah satu mekanisme pendinginan suhu lewat es. 


Es di Antartika bagian timur diperkirakan memiliki ketebalan hingga 3-4 km. Es ini mulai terbentuk sejak 34 juta tahun lalu. 


Hasil riset ini dipublikasikan di jurnal Nature, Kamis kemarin.


Sumber :AFP
Editor :Asep Candra
Sumber Gambar : Puyol

Agustus 02, 2012





Sukabumi  - Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sejak pukul 00.00 WIB Rabu (1/8), melarang aktivitas pendakian ke dua gunung yang berada di wilayah tiga kabupaten itu.


"Seluruh kegiatan yang menyangkut pendakian secara resmi kami tutup sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Balai Besar TNGGP nomor SK.234/11-TU/3/2012 tanggal 17 Juli 2012 tentang penutupan pendakian," kata Kepala BBTNGGP, Agus Wahyudi kepada ANTARA, Rabu.


Menurut Agus, sejak Rabu pagi, para pendaki sudah meninggalkan lokasi pendakian baik yang berada di puncak maupun yang di jalur pendakian. Selain itu, seluruh pendaki dikawal oleh petugas TNGGP saat turun gunung khawatir ada pendaki yang tertinggal atau tersasar.


Sekarang Gunung Gede dan Pangrango sudah tidak ada lagi aktivitas pendakian, tetapi hanya warga sekitar saja yang diperbolehkan mendaki gunung untuk mencari kayu bakar. "Penutupan ini kami lakukan selama satu bulan penuh di Agustus ini sejak 1 Agustus sampai 31 Agustus," tambahnya.


Dikatakannya, penutupan sementara aktifitas pendakian ini dalam rangka pemulihan ekosistem dan pencegahan kebakaran hutan. Selain itu untuk memberikan kesempatan kepada flora dan fauna disepanjang jalur pendakian untuk pemulihan kondisi dan adanya peringatan dari BMKG bahwa curah hujan pada Agustus sangat rendah sehingga memungkinkan timbulnya bencana kebakaran hutan.


"Kami pun memperketat di pintu masuk pendakian yakni Pintu Cibodas, Cianjur, Pintu Gunung Putri, Bogor dan Pintu Selabintana, Sukabumi, yang tujuannya untuk mengantisipasi adanya pendaki yang nekad menerobos masuk ke Gede dan Pangrango," kata Agus.


Namun, untuk kegiatan wisata lainnya seperti wisata air terjun Cibeureum di Cibodas, Curug Cibeureum di Selabintana, Situ Gunung di Sukabumi dan lain sebagainya, masih terbuka untuk umum."Kami pun mengimbau kepada warga atau wisatawan yang datang ke lokasi wisata lainnya untuk tetap menjaga kondisi kebersihan dan keamanan obyek wisata," demikian Agus. 

Editor: Suryanto
Sumber : Antara





 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff