Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Maret 29, 2010

Konservasi Bukit Tigapuluh Sabet Penghargaan

Perth Zoo, sebuah LSM lingkungan, meraih penghargaan nasional Konservasi In-Situ 2010 untuk upaya perlindungan sejumlah satwa yang sangat terancam punah di dunia, khususnya orangutan Sumatra, dan habitatnya di ekosistem Bukit Tigapuluh (TNBT), Jambi.

Chief Executive Perth Zoo Susan Hunt dalam siaran persnya, Minggu (28/3), menyebutkan, pihaknya menerima penghargaan untuk program Perlindungan Satwa Liar dan Ekosistem Bukit Tigapuluh.

Program tersebut dilaksanakan oleh Frankfurt Zoological Society (FZS), sebuah LSM yang bergerak di bidang konservasi satwa liar. Program ini sedang berlangsung, dan bertujuan melindungi salah satu blok hutan hujan dataran rendah di Sumatra yang memiliki representasi lengkap fauna Sumatra, seperti orangutan Sumatra yang masuk dalam kelompok kera besar yang terancam punah di tingkat dunia dan juga harimau sumatra yang sangat terancam punah serta habitat gajah sumatra yang semakin menyempit.

Susan menyatakan, ekosistem Bukit Tigapuluh adalah daerah terakhir yang tersisa yang bersebelahan dengan dataran rendah kering di Sumatra, sehingga sangat sangat penting untuk melakukan segala upaya guna memastikan perlindungan terhadap kawasan ini.

"Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan lembaga non-pemerintah termasuk FZS, dan Australian Orangutan Project," katanya. "Sayangnya ada banyak ancaman terhadap habitat yang unik ini seperti penebangan liar, kebakaran hutan, dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit," ujar Susan.

Sementara itu, Counterpart Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi pada FZS Krismanko Padang menyatakan sangat bangga atas apresiasi yang diberikan Pemerintah Australia terhadap Perth Zoo yang merupakan salah satu pihak sponsor yang peduli terhadap pelestarian satwa kunci Sumatra di ekosistem Bukit Tigapuluh.

Hal itu menunjukkan bahwa bangsa luar juga peduli pentingnya upaya menjaga kelestarian alam di Bukit Tigapuluh. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi akan arti penting keanekaragaman hayati sebuah ekosistem. Apresiasi itu menjadi sebuah ironi karena perhatian bangsa luar justru lebih baik dibandingkan Pemerintah Indonesia sendiri. Ini terlihat dari masih adanya upaya pemerintah untuk mengubah kawasan penyangga yang masuk dalam ekosistem menjadi kawasan hutan tanaman industri (HTI).

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementrian Kehutanan telah mengeluarkan surat izin prinsip untuk atas hutan seluas 61.496 hektare kepada PT Lestari Asri Jaya di hutan produksi eks HPH PT IFA dan 52.000 hektare kepada PT Rimbani Hutani Mas (RHM) di hutan produksi eks HPH PT Dalek Hutani Esa.

Padahal di kawasan merupakan habitat satwa kunci Sumatra seperti orangutan, harimau, gajah, dan tapir. Sementara suku terasing Talang Mamak, Suku Anak Dalam, dan Melayu Tua juga tinggal di wilayah ini.



Luas ekosistem Bukit Tigapuluh mencapai 400.000 hektare dan di dalamnya terdapat Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144.223 hektare. Ekosistem ini berada di dua provinsi, yakni Provinsi Jambi di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, serta Riau di Kabupaten Indragiri Hilir.

SEJARAH PENETAPAN TNBT

Sejarah penetapan Bukit Tigapuluh dimulai dengan dikeluarkannya Rencana Konservasi Nasional Indonesia pada tahun 1982. Rencana tersebut mengakui penting dan tingginya nilai ekosistem Bukit Tigapuluh, yang terdiri dari Suaka Margasatwa Bukit Besar (200.000 Ha.) dan Cagar Alam Seberida (120.000 Ha.). Pada tahun 1988 dikeluarkan Instrumen Perencanaan Report yang isinya mengkategorikan Ekosistem Bukit Tigapuluh sebagai perbukitan dan pegunungan yang hanya sesuai sebagai kawasan hutan lindung dengan luas 350.000 Ha.
Kemudian pada tahun 1990 dikeluarkan Peta Unit Lahan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian, yang menyebutkan bahwa Ekosistem Bukit Tigapuluh yang terdiri dari grup pegunungan dan perbukitan di mana hutan yang terdapat di grup perbukitan seharusnya tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.

Pada periode antara tahun 1991 sampai dengan 1992 dilakukan penelitian bersama antara Indonesia dengan Norwegia dengan tujuan untuk memperlihatkan arti penting dan fungsi keberadaan ekosistem Bukit Tigapuluh. Hasil penelitian ini merekomendasikan kawasan tersebut agar ditetapkan sebagai taman nasional dengan luas 250.000 ha.

Pada tahun 1993 Dirjen Perlindungan hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) bersama WWF Indonesia mengusulkan program pengelolaan kawasan Bukit Tigapuluh kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia.

Pada tahun 1994 Pemerintah Daerah Tingkat I Riau mengeluarkan Peraturan Daerah No. 10 tahun 1994 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi yang di dalamnya mencakup Kawasan Konservasi Bukit Tigapuluh. Pada tahun yang sama, Dirjen PHPA melalui surat Nomor 103/DJ-VI/Binprog/94 mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menunjuk Kawasan Bukit Tigapuluh dan Bukit Besar sebagai Taman Nasional.

Selanjutnya pada tahun 1995 Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 539/Kpts-II/1995 menunjuk kawasan Bukit Tigapuluh sebagai taman nasional dengan luas 127.698 Ha. Luas tersebut merupakan gabungan dari 57.488 Hutan Produksi terbatas yang ada di Provinsi Riau, serta 33.000 Hutan Lindung di wilayah Provinsi Jambi. Luas tersebut lebih kecil dari yang diusulkan semula karena adanya konflik kepentingan dari pemegang HPH yang ada pada saat itu.

Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor: 17/Kpta/12J-V/2001, maka ditunjuklah zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Dan akhirnya, pada tanggal 21 Juni 2002, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 6407/Kpts-II/2002 Tentang Penetapan Kelompok Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 144.223 Ha yang terletak di 4 kabupaten pada 2 propinsi yaitu Riau dan Jambi sebagai Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

KEADAAN FISIK KAWASAN

Secara geografis kawasan TN. Bukit Tigapuluh terletak pada koordinat antara 0° 40" - 1° 25" Lintas Selatan dan 102° 10" - 102° 50" Bujur Timur dengan luas 144.223 Ha. Secara administrasi pemerintahan kawasan tersebut terletak pada 2 wilayah provinsi, yakni wilayah Propinsi Jambi dan Propinsi Riau. Di wilayah Propinsi Jambi terletak di Kabupaten Tebo ( seluas 23.000 ha) dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (seluas 10.000 ha). Sedangkan di wilayah Propinsi Riau terletak di Kabupaten Indragiri Hulu (seluas 81.223 ha) dan kabupaten Indragiri Hilir (seluas 30.000 ha).


Kawasan TN. Bukit Tigapuluh merupakan daerah perbukitan yang cukup curam dengan ketinggian antara 60 m sampai 843 m dpl, dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit Supin. Daerah perbukitan tersebut terpisah dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari selatan ke utara di Pulau Sumatera.

Jenis tanah yang terdapat di kawasan tersebut adalah Podsolik Merah Kuning dengan kedalaman bervariasi antara 40 cm - 150 cm.



Kawasan TN. Bukit Tigapuluh merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Gansal di Propinsi Riau dan Sungai Batang Hari di Propinsi Jambi, serta terdapat beberapa Sub DAS seperti Sungai Cinaku, Keritang, Pengabuhan dan Sumai.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan TN. Bukit Tigapuluh termasuk iklim tipe B. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.577 mm/tahun, tertinggi pada bulan Oktober (347 mm) dan terendah pada bulan Juli (83 mm). TN. Bukit Tigapuluh memiliki udara yang sejuk dengan suhu bulanan maksimum 33° C pada bulan Agustus dan suhu minimum 20,8°C pada bulan Januari.

FUNGSI TNBT

Fungsi TNBT yang sangat penting antara lain :
  • Merupakan perwakilan contoh ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah yang sudah menjadi langka.
  • Merupakan habitat flora dan fauna yang langka yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati tinggi.
  • Merupakan daerah tangkapan air (catchment area) pada hulu sungai-sungai besar ke daerah sekitar, seperti Sungai Batang Hari, S. Batang Sumai, S. Batang Gangsal, dan lain-lain.
  • Merupakan perwakilan dari keunikan geologi yang terdapat di bagian timur P. Sumatera.
  • Merupakan tempat hidup dan sumber penghidupan masyarakat tradisional Suku Anak Dalam, Suku Talang Mamak, dan Suku Melayu Tua, yang secara turun-temurun bermukim di kawasan tersebut.
  • Merupakan bagian dari "paru-paru dunia" yang memproduksi oksigen bagi kehidupan manusia.
  • Merupakan salah satu objek wisata alam potensial di masa mendatang.
  • Merupakan sumber hasil hutan non kayu, seperti : getah, buah, madu, jernang, rotan, obat-obatan dan lain-lain.
  • Merupakan laboratorium alam untuk pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan budidaya.
Sumber : Media Indonesia
Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Kredit Foto : matanews.com
tebuireng.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar