Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Desember 14, 2010

Frustrasi Jepang, Protokol Kyoto dan Keberlanjutan Pasar Karbon


Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi atau Conference of the Parties (COP) ke-16 Perubahan Iklim dari Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Cancun Meksiko diwarnai pesimisme semua pihak akan hadirnya suatu kesepakatan mengikat untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dan aksi menangani perubahan iklim.

Aura pesimisme memberi dampak pada acara-acara baik di dalam konferensi maupun "side event" di luar konferensi yang terkesan lebih "adem" dibanding KTT ke-15 di Kopenhagen Denmark tahun lalu yang ingar-bingar.

Aksi-aksi unjuk rasa para aktivis lingkungan pun sedikit dan hanya "itu-itu" saja, berbeda dengan aksi menarik dengan berbagai kostum yang dilakukan di Kopenhagen.

Meski KTT Iklim berjalan biasa saja, tetapi tidak dengan Jepang. Delegasi Negeri Sakura tampil mengejutkan dengan pernyataannya yang tidak mau melanjutkan komitmen kedua pengurangan emisi pascakomitmen pertama Protokol Kyoto yang habis pada 2012.

Selain Jepang, beberapa negara seperti Rusia juga ikut-ikutan tidak mau melanjutkan komitmen penurunan emisi sesuai kewajiban mereka sebagai negara maju (Annex-1) di Protokol Kyoto.

Karena sikap itu, mereka dijuluki kelompok "Kill Kyoto" oleh kalangan aktivis lingkungan.

Anggota Delegasi RI (Delri) yang juga Staf Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim, Agus Purnomo mengatakan sikap Jepang menolak kelanjutan Protokol Kyoto sebenarnya telah diungkapkan sejak Pertemuan Internasional Perubahan Iklim di Tianjin China dua bulan sebelumnya.

Agus Purnomo atau kerap disapa Pungki mengatakan Jepang bersikap seperti itu karena frustrasi terhadap Amerika yang tidak kunjung meratifikasi Protokol Kyoto dan memberi komitmen untuk penurunan emisi, padahal Amerika merupakan negeri penghasil emisi terbesar di dunia setelah China.

Sikap Amerika yang tak mau berkomitmen juga disebabkan karena gagalnya "Climate Bill" disahkan oleh parlemen mereka.

Jepang beralasan pihaknya tidak mau melanjutkan komitmen karena Amerika dan negara berkembang utama seperti China, India dan Brasil tidak kunjung ikut berkomitmen mereduksi emisinya.

"Kami tak ingin mengakhiri Protokol Kyoto, cuma tidak mau ada komitmen kedua bila kelompok negara berkembang utama tidak ikut di dalamnya," kata negosiator Jepang Akira Yamada.

Jepang, bersuara keras menyatakan keberatan, dan menunjuk bahwa Protokol Kyoto hanya mencakup sekitar 30 persen emisi global karena dua penyebab polusi utama --China dan Amerika Serikat-- tidak tercakup.

Yamada mengatakan Jepang melihat Protokol Kyoto tanpa Amerika dan China bukanlah jalan yang adil dan efektif untuk mengatasi tantangan perubahan.

China tidak memiliki persyaratan sebagai negara berkembang, sementara Amerika Serikat - sendirian di antara negara kaya (Annex-I)-- menolak perjanjian tersebut.

"Ini seperti negara-negara Annex-I menjadi pemain sepak bola dan negara-negara non-Annex-I dan Amerika Serikat menonton sendirian. Namun kita bekerja dan hasilnya ... kita dikritik," kata Yamada.

"Kami ingin semua penghasil emisi utama turun ke lapangan," katanya menegaskan.

Meski Jepang bersikap keras, sampai satu hari sebelum penutupan KTT Iklim di Cancun pada Jumat (10/10), belum ada ketergerakan hati dari Amerika maupun China untuk berkomitmen terhadap emisinya sesuai harapan semua pihak.

Pasar karbon

Sikap Jepang dan Rusia untuk tidak melanjutkan komitmen dalam Protokol Kyoto berpengaruh tidak hanya dalam konferensi iklim, tetapi juga kepada negara-negara berkembang dan keberlanjutan pasar karbon.

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia terancam tidak mendapatkan dana dari pasar karbon sukarela ("voluntary market") apabila Protokol Kyoto yang mewajibkan negara maju menurunkan emisi tidak diberlakukan kembali.

"Indonesia bisa tidak dapat dana tambahan perubahan iklim dari pasar. Hanya bisa mendapatkan dana dari bantuan jalur cepat ("fast track financing") atau pinjaman internasional dengan bunga rendah," kata Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional, Liana Bratasida di Meksiko.

Terancamnya negara berkembang karena dasar legalitas pasar karbon yaitu Protokol Kyoto terancam keberlanjutannya.

Tidak ada lagi dasar kewajiban bagi negara maju untuk mengurangi emisi karbon atau menukar kewajibannya tersebut dengan membeli karbon dari negara lain apabila Protokol Kyoto tersebut hilang tidak berlanjut.

Padahal dari kerjasama bilateral, Indonesia telah mendapatkan dan dijanjikan jutaan dolar Amerika dari Norwegia, Australia, Inggris dan Perancis.

Sedangkan Kepala Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Dicky Edwin Hindarto mengatakan pasar karbon dunia ("voluntary market") akan kehilangan kepercayaan karena hilangnya basis legalitas tersebut.

"Untuk program yang sedang berjalan akan tetap diselesaikan, tetapi untuk program pasar karbon mendatang akan berubah nama dan bentuknya," katanya.

Menjadi penting dan urgen menunggu hasil akhir drama Jepang dan kelanjutan Protokol Kyoto di KTT ke-16 di Cancun.

Apakah Protokol Kyoto akan berlanjut dengan masa yang lebih gemilang seperti alam kota Cancun yang selalu diliputi langit biru dengan pantai pasir putih dan air laut yang hijau membiru?

Ataukah Protokol Kyoto bakal surut seperti hutan bakau di sepanjang Riviera Maya kota Cancun yang mengalami pasang surut air laut?

Dunia menunggu keberanian dan kepemimpinan dari Presiden Meksiko Felipe Calderon dan Presiden KTT ke-16 Perubahan Iklim Patricia Espinosa untuk menggiring negara-negara peserta konferensi mengambil keputusan soal Protokol Kyoto, komitmen penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim demi menyelamatkan bumi.

Sumber : Antara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar