Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Februari 04, 2011

DIALEKTIKA KARST : MENYIBAK KEGELAPAN DI DALAM PERUT BUMI


Tepat di tepi mulut lubang raksasa itu, 3 anak muda dengan sabar menunggu giliran untuk turun perlahan meniti lintasan tali yang telah terpasang. "Ropp fiiiiiii!!!!", suara itu sayup-sayup terdengar seolah mengukuhkan bahwa lubang itu sedemikian dalamnya. Tapi suara itu tidak asing dan maksudnya amat jelas "rope free", dan dengan hati-hati saya melepas kuncian dari descendeur lalu menggantungkan 'harapan' saya pada seutas tali berdiameter 1.2 cm yang menjulur ke dalam perut bumi...



Gunung Sewu yang dikenal juga dengan 'seribu gunung' merupakan perbukitan karst yang membujur dari Gunung Kidul, Jawa Tengah sampai kawasan Pacitan, Jawa Timur. Perbukitan yang memiliki morfologi yang khas seperti mangkuk terbalik atau istilah geologinya chonicle karst atau pepino hills ini jika dilihat dari foto udara akan menyerupai ular yang tubuhnya berlekuk-lekuk seperti tabiat ular pada umumnya. Daerah ini mendominasi Pegunungan Selatan Jawa begitu pula saudaranya di daerah Sukabumi, Jawa Barat dan sekitarnya. Entah mengapa namanya Gunung Sewu. Apakah jumlahnya benar-benar seribu? Atau lebih bahkan kurang dari seribu? Tapi yang jelas saya berada di salah satu segmen 'ular' dari ribuan segmen 'ular' tersebut.

Hari ke 4 di bulan Agustus tahun 2009, tepatnya di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul. Pagi-pagi benar ketika matahari belum tampak, puluhan anak muda disibukkan dengan segala kebutuhan penelusuran gua yang akan digunakan selama kurang lebih 10 jam. Di atas tanah tandus dengan beralaskan fly sheet tersusun rapih tali static kernmantle, yaitu sejenis tali khusus untuk kegiatan tebing terjal yang mampu menahan beban sampai puluhan kilogram bahkan ratusan. Sebenarnya ada 2 jenis tali kernmantle, yang satu statis dan yang lainnya dinamis. Namun untuk kegiatan khusus seperti ini, kami menggunakan tali statis demi keselamatan dan kenyamanan. Dengan cepat Kaka, pria berdarah Ambon ini, menggulung tali tersebut rapih dan meletakkannya di atas pundak kirinya. Kaka adalah salah satu bagian dari tim kami yang beranggotakan 6 orang. Baik Kaka, saya, dan 4 orang lainnya sama sekali minim pengalaman tentang kegiatan penelusuran gua. Untungnya, selama 3 hari yang lalu kami sudah melakukan simulasi penelusuran di salah satu pohon yang berdiri tegak di atas tanah yang tandus ini.

Bersama Kang Bambang, bertujuh kami menapaki jalan setapak yang tandus ini menuju gua yang dimaksud. Dengan overall yang menutupi tubuh kami dan segala peralatan yang menggantung sana-sini di tubuh, kami menyapa sapa saja termasuk warga yang sedang mengolah lahan di sekitar sini. Miris, melihat kondisi lahan yang tandus. Sedikit harapan untuk mengubah lahan ini menjadi hidup. Tidak banyak vegetasi yang bisa tumbuh disini dan tidak banyak pula warga yang hidup di sini. Kecuali mereka yang telah menjadi ahli waris tanah dari leluhur mereka yang lebih dulu ada di sini. "Pagi Pak!!! Permisi...", kataku semangat. "Monggo!", jawab lelaki tua itu yang rambutnya telah putih dimakan usia seraya tersenyum. Sepanjang perjalanan saya menduga-duga bahwa dalam pikiran lelaki tua itu kami lebih mirip para pekerja tambang bawah tanah atau badut yang entah menghibur siapa.

Datang ke tempat ini untuk menantang maut lalu terkubur di tengah kegelapan yang sunyi di bawah sana. Saya pun hanya tertawa kecil. "Edan!", kata Bowo. Ucapan Bowo tersebut sekaligus menyadarkan saya bahwa mulut gua ada di depan kami setelah 15 menit kami berjalan. Luweng Grubug nama tempat itu. Luweng berarti liang atau gua. Ya, Gua Grubug. Tapi lebih pantas memang dengan nama Luweng Grubug yang lebih bisa memacu datangnya imajinasi tentang sosok gua tersebut. Ada kabar burung bahwa dahulu gua ini merupakan tempat pembuangan orang-orang PKI. "Mudah-mudahan tidak demikian", batinku menjawab.

Dengan cekatan, saya dibantu 2 orang lainnya mengulur tali kernmantle tersebut. Sementara 3 orang lainnya menyiapkan webbing sling, carabiner, dan keperluan lainnya untuk siap menuruni gua itu. Kang Bambang hari itu mengawasi kami dan memberikan arahan agar kami bisa memasang instalasi dengan aman dan nyaman. Saya dibantu Kaka memasang anchor tepat di sisi mulut gua sebelah timur. Diameter mulut Luweng Grubug kira-kira 4-5 meter dan entrance atau pintu masuk yang kami pasang tepat di mulut gua sebelah timur. "Kedalamannya kurang lebih 80 meter vertikal", kata Kang Bambang yang jam terbangnya tak terhitung banyaknya. Tali yang kami bawa panjangnya 100 meter dengan diameter tali 1.2 cm, standar untuk kegiatan caving. Jarak mulut gua dengan main anchor 2 meter, sedangkan dengan back up anchor 7 meter. Jarak 2 meter itu kami manfaatkan untuk memasang tali lintasan ke descendeur kami. Setelah yakin lintasan yang akan kami lewati, satu persatu dari kami terdiam.


"Untuk mengawali kegiatan ini, marilah kita berdoa.. Berdoa mulai", sahut seorang dari kami yang sadar dengan kondisi 6 manusia saat itu. "Selesai!", katanya. Lalu dengan perlahan-lahan satu-persatu dari kami masuk melewati mulut gua yang pengap, gelap, dan sunyi. Alat penerangan sudah kami persiapkan berserta cadangannya. 4 orang tim termasuk Kang Bambang telah berada di dasar dari Luweng Grubug. Dari atas kami mengamati 4 orang yang telah lebih dulu berada di bawah sana. Hanya sekelibat cahaya kecil yang teramati olehku. Bahkan kadang tak terlihat sama sekali dari atas sini. Descendeur yang menempel pada delta MR di tubuh saya masih terkunci. Artinya saya tidak akan meluncur bebas ke bawah kecuali secara sengaja lilitan demi lilitan tali dibuka lalu meluncur ke bawah, terantuk, dan tidak jelas bentuknya.


Tepat di tepi mulut lubang raksasa itu, 3 anak muda dengan sabar menunggu giliran untuk turun perlahan meniti lintasan tali yang telah terpasang. "Ropp fiiiiiii!!!!", suara itu sayup-sayup terdengar seolah mengukuhkan bahwa lubang itu sedemikian dalamnya. Tapi suara itu tidak asing dan maksudnya amat jelas "rope free", dan dengan hati-hati saya melepas kuncian dari descendeur lalu menggantungkan 'harapan' saya pada seutas tali berdiameter 1.2 cm yang menjulur ke dalam perut bumi... Pelan-pelan saya mengendalikan descendeur agar tidak terlalu cepat meluncur ke bawah. Dengan bantuan headlamp, saya masih bisa mengontrol laju turunnya. Tidak terlihat apa-apa, tapi saya dapat merasakan begitu besarnya lorong vertikal ini bahkan semakin membesar ke arah dasarnya. Hanya suara gemuruh sungai bawah tanah yang deras dan gesekan antara tali dengan descendeur yang terdengar di telinga. Ini adalah gua terdalam yang pernah saya telusuri. Bayangkan, 80 meter ketinggiannya!! Kira-kira 15 menit kemudian saya tiba di dasar dari Luweng Grubug. Saya amat takjub dengan ruangan yang amat sangat besar. Kelak saya mengetahui bahwa istilah ruangan itu adalah chamber atau dapur raksasa.

"Rope free!!!!", teriakku. Kemudian dari atas meluncur seorang demi seorang. Kami semua telah berkumpul di bawah. Nyala api menyulut gas asetilen di ujung helm seorang dari kami. Gas ini terbentuk dari reaksi karbit dengan air di dalam tabung yang menghasilkan gas dan disalurkan melalui selang panjang ke ujung helm. Daerah di sekitar kami cukup terang selain dibantu oleh cahaya matahari yang sengaja masuk bersama kami ke dalam gelapnnya Grubug. Tepat di belakang kami terdapat interior gua yang sangat indah, flowstone, tersusun atas material calcite hasil pelarutan batu gamping yang tertumpuk menyerupai adonan berbentuk kuncup bunga terbalik.

Lalu kami berjalan menelusuri gua ini. Kami tiba di lorong lain yang horizontal. Lorong horizontal ini menghubungkan dasar Luweng Grubug dan Luweng Jomblang. Masih banyak lorong-lorong misterius sepengamatan saya. Tapi kami memiliki keterbatasan waktu di dalam sini. Tanpa pikir panjang, kami langsung melakukan pemetaan gua. Mengukur ketinggian, lebar, azimuth, dan kemiringan lereng dari satu station ke station yang lain. Kurang lebih 4 jam kami berada di lorong horizontal itu tanpa makan dan minum. Tibalah kami di satu lorong yang menampakkan cahaya. Seolah-olah merupakan harapan bagi kami di tengah liang tak bertuan.

Semua lorong di bawah sini hanya dihuni oleh beberapa makhluk gua mulai dari yang memiliki mata sampai yang tidak memiliki mata, dari yang transparan sampai yang tidak tembus cahaya, dari binatang yang melata sampai binatang yang berenang di teduhnya air, dan makhluk yang menempel di dinding gua itu. Cahaya itu merupakan isyarat bagi kami yang memanggil-manggil kami dari kejauhan. Di dalam kegelapan ini ada ketenangan sekaligus harapan. Harapan untuk tetap hidup bertahan sebagaimana makhluk-makhluk perut bumi di lorong maut ini bertahan. Sore itu kami tutup perjalanan kami dengan sebungkus nasi lima ribuan dan air mineral yang kami persiapkan sebelum turun ke sini. Lalu bergegas naik melewati lintasan yang sama untuk menjalani kehidupan kami yang nyata, penuh hiruk pikuk, jauh dari segala ketenangan dan keheningan yang penuh harapan di bawah sana.........


S.184 FRB

Sumber foto :


2 komentar: