Dari banyak band tahun ‘70 – ‘90 an, Dire Straits adalah salah satu favorit. Petikan gitar dan vokal Mark Knopfler yang berat nan powerful adalah mood booster di pagi hari sebelum pergi ke sekolah, dulu. Efektif mengusir rasa kantuk. Seingat saya hanya lagu ‘Why Worry’, ‘Brother In Arms’, dan ‘Your Latest Trick’ yang dibawakan dengan gaya slow. Sisanya nge-beat.
Band ini dibentuk pada tahun 1977 di London, Inggris, oleh Knopfler bersaudara, Mark dan David. Mark sebagai lead gitar sekaligus vokal, adapun David menjadi backing vocal dan rhythm. Mereka didukung oleh John Illsley pada bas dan Pick Withers yang bertanggung-jawab pada drum dan perkusi. Periode aktif Dire Straits terbagi menjadi dua, tahun 1977 – 1988 dan tahun 1991 – 1995.
Periode pertama diisi dengan kesuksesan album Dire Straits (1978), Communique (1979), Making Movies (1980), Love over Gold (1982), dan Brother in Arms (1985). Secara berturut-turut album-album itu mengantarkan Dire Straits ke puncak keterkenalan dan membuat mereka mendapatkan 4 kali Grammy Awards, tiga kali Brit Awards, MTV video music awards, dan berbagai penghargaan lain. Album-album itu ditandai dengan hits seperti Romeo and Juliet, Sultans of Swing, Brother in Arms, Walk of Life, Money for Nothing, dan banyak lagi.
Adapun periode kedua hanya diisi dengan album On Every Street (1991) yang secara komersial tidak sesukses pendahulunya.
Periode vakum antara 1989 sampai tahun 1990 dimanfaatkan untuk istirahat dari publikasi setelah kesuksesan dan popularitas diraih oleh band. Rupanya cape juga ya jadi orang terkenal, sampai harus istirahat. Pantesan pernah ada berita Raffi Ahmad mau vakum dulu dari dunia hiburan dan mau liburan keliling dunia, karena sudah cape terkenal. Adapun Mark Knopfler memanfaatkan masa vakum tidak untuk keliling dunia tapi fokus pada projek solo dan mengisi musik untuk film.
Pada tahun 1980, David Knopfler meninggalkan band dan memilih bersolo karir. Pecah kongsi dengan Mark. Seperti group Oasis, kakak beradik Noel dan Liam Galagher yang pecah kongsi. Saya suka sedih kalau melihat band yang bubar, apalagi jika mereka bersaudara. Andai saja mereka mau meneladani group Bimbo yang kompak akur sampai tua.
Dari banyak lagu Dire Straits yang saya suka, The Telegraph Road, yang adalah masterpiece sekaligus centerpiece dari album Love Over Gold, adalah juaranya. Lagu ini ditulis Mark Knopfler pada saat ia dalam perjalanan melalui Telegraph road yang terletak di negara bagian Michigan, dekat kota Detroit. Mark Knopfler saat itu sedang membaca novel The Growth of the Soil karya Knut Hamsun yang kurang lebih bercerita tentang perkembangan peradaban di Norwegia dari budaya agraris ke periode industrialisasi dan modernisasi.
Terinspirasi oleh buku itu, serta melihat nama jalan yang terbentang didepannya, lahirlah lagu The Telegraph Road. Lagu ini bercerita tentang tumbuh dan surutnya sebuah peradaban. Diawali oleh kepioniran seseorang yang membangun rumah dan ladang yang letaknya jauh dari mana-mana, setidaknya ia telah berjalan 30 mil untuk sampai ke situ. Kemudian datanglah orang lain yang kemudian mukim dan juga bertani di sana. Lalu berkembanglah tempat tersebut menjadi pemukiman yang besar, sebuah kota industri dengan populasi yang besar.
A long time ago came a man on a track
Walking thirty miles with a sack on his back
And he put down his load where he thought it was the best
Made a home in the wilderness
He built a cabin and a winter store
And he ploughed up the ground by the cold lake shore
And the other travelers came walking down the track
And they never went further, no, they never went back
Kemudian didirikanlah sekolah-sekolah, dibuatlah gereja-gereja, dibuatlah peraturan, muncullah para pengacara. Semakin besar ketika kemudian dibuatlah pertambangan, dibuatlah jalan-jalan, timbulah kemacetan, timbulah pemecatan. Munculah ironi. Ketika kemajuan perekonomian, kemajuan peradaban, justru melahirkan kerakusan, pertikaian antar manusia. Kedamaian kehidupan di periode awal kehidupan agraris hilang terenggut oleh ketamakan industrialisasi.
Then came the churches, then came the schools
Then came the lawyers, then came the rules
Then came the trains and the trucks with their load
And the dirty old track was the Telegraph Road
Then came the mines, then came the ore
Then there was the hard times, then there was a war
Telegraph sang a song about the world outside
Telegraph Road got so deep and so wide
Like a rolling river
Masih ada beberapa bait lagi yang bercerita tentang kejayaan dan mulai runtuhnya kejayaan itu.
Begitulah, lagu ini bercerita tentang tumbuh dan berubahnya peradaban, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Lengkap dengan dampak yang ditimbulkannya.
The Telegraph Road adalah lagu yang tidak biasa. Dari sisi durasi, ia terhitung sangat panjang. 14 menit! Itu versi standarnya. Ketika dibawakan dalam pertunjukkan langsung, ia bisa mencapai 15 menit. Seolah ingin menunjukkan perubahan peradaban yang diceritakan lagu itu, Mark Knopfler dan kawan-kawan memainkan musik dalam The Telegraph Road mulai dari lemah lembut lambat membuai, hingga ke tempo yang sangat cepat dimana tidak banyak musisi dapat memainkannya. Dari suara berat yang perlahan muncul dari kejauhan sampai teriakan yang diiringi pukulan tuts piano yang megah dan riuh. Semuanya dibawakan dengan indah dan serasi sehingga 14 menit untuk lagu ini terasa sebentar saja.
Itulah kehebatan musisi. Hanya dalam satu lagu, ia mampu bercerita beberapa pelajaran sekaligus. Sosial, ekonomi, dan boleh jadi psikologi. Juga sejarah. Yang kalau dibuat dalam buku pasti akan menghabiskan ratusan halaman dan ribuan kata. Oleh Mark Knopfler, puluhan buku itu dibungkus dalam sebuah lagu yang memberi pelajaran kepada kita bahwa ketamakan manusia akan menghancurkan dan meninggalkan kejayaan yang didapatkan, menjadi puing-puing belaka. Dahsyat.
Rock on, Mark.
Howgh,
(seperti yang dituliskan oleh Nirwan Nugraha di WA Grup Sadagori 27 Januari 2020)