Juli 29, 2010


Ketika pendaki legendaris Inggris George Mallory mengambil gambarnya pada 1921 mengenai wajah utara Mount Everest, gletser perkasa yang berbentuk sungai itu dan berkelok-kelok di bawah kaki tampaknya abadi.

Setelah beberapa dasawarsa polusi dan belakangan pemanasan global, pendaki gunung modern David Breashears telah kembali mengambil gambar di tempat yang sama, dan membuktikan kenyataan yang mengkhawatirkan.

Bukan mendapatkan gambar lapisan es putih yang keras dan berbentuk S seperti yang disaksikan oleh Mallory sebelum ia meninggal di Mount Everest, yang ditaklukkannya, Main Rongbuk Glacier saat ini menyusut dan merana.

Gelombang beku puncak es --banyak di antaranya seukuran gedung kantor-- memang masih ada. Tetapi semuanya jauh lebih sedikit, lebih rendah dan berada di jalur sempit.

Breashears, yang membandingkan semua gambar yang sangat cocok, memastikan bahwa ukuran Rongbuk Glacier telah berkurang 97 meter.

"Angka pencairan di wilayah tengah dan timur Himalaya ini sangat luas dan dan menghancurkan," kata Breashears, Rabu (14/7), di Asia Society, New York, yang menjadi tuan rumah pameran tersebut. 13 Juli - 15 Agustus. Kegiatan itu dapat dilihat di http://sites.asiasociety.org/riversofice.

Di tengah perdebatan sengit politik mengenai penyebab dan kenyataan pemanasan global, Breashears berbicara benar-benar dari lapangan.

Ia mengikuti jejak tiga juru kamera-pendaki gunung terdahulu: Mallory, pelopor pemetaan kelahiran Kanada Edward Wheeler, dan Vittorio Sella dari Italia. Hasil kerja mereka merentang dari Abad 19 sampai Abad 20.

Hasilnya adalah serangkaian gambar masa-lalu-dan-sekarang dari Tibet, Nepal dan di dekat K2 di Pakistan, yang memperlihatkan tujuh gletser menyusut --bukan hanya jauh berkurang, tapi dalam satu kasus telah lumat jadi danau.

"Jika ini bukan bukti mengenai gletser yang menghadapi kemerosotan serius, aku tak tahu apa ini," kata Breashears, yang berbicara lembut.

Lebih dari ancaman



Gletser yang mencair tersebut menjadi lebih dari sekedar ancaman bagi "keharmonisan dasar" yang dulu digambarkan oleh Mallory ia temukan di puncak-puncak indah itu.

Gletser Himalaya adalah cadangan es terbesar ketiga setelah kutub Utara dan Selatan, dan es yang mencair setiap musim adalah sumber penting bagi berbagai sungai besar di Asia, termasuk Gangga, Indus, Mekong, dan Sungai Kuning.

Ahli China di Asia Society Orville Schell menggambarkan Nepal sebagai "semacam markas bagi pengairan seluruh Asia".

Akibatnya ialah pencairan cepat memicu "dampak air terjun bagi semua aliran ke muara, baik itu hewan, tanaman, sungai, pertanian dan bahkan manusia," kata Orville sebagaimana dilaporkan wartawan AFP, Sebastian Smith.

Kondisi saling terkait itu juga bekerja dengan cara lain: kemerosotan dari awan kabut tebal di atas pusat permukiman Asia mengotori gletser yang tampaknya terpencil, sehingga mempercepat kehancurannya.

"Jelaga karbon hitam ini kemudian mengubah gletser jadi sejenis pengumpul sinar Matahari. Bukannya memantulkan panas kembali ke luar atmosfir ke antariksa, semua itu malah menyerapnya," kata Schell.

Penanganan masalah tersebut memerlukan data dan itu terbukti sulit diperoleh, kata Sayid Iqbal Hasnain, ahli gletser utama India yang menghadiri pembukaan "Rivers of Ice" itu.

Hasnain mengetahui secara langsung mengenai kesulitan dalam masalah tersebut.

Ia mengatakan bahwa ia dikutip secara keliru oleh satu majalah yang menyatakan gletser Himalaya dapat hilang paling lambat pada 2035, prospek yang mengerikan tapi tak berdasar yang mengakibatkan kegemparan setelah pernyataan itu menyusup ke laporan perubahan iklim PBB awal tahun ini.

Hasnain terutama mengeluhkan rumitnya membawa pemerintah dan ilmuwan dari India, Pakistan, China dan Tibet untuk bekerja sama di wilayah perbatasan mereka --yang seringkali jadi wilayah sengketa.

"Kita mesti mengetahui berapa banyak gletser yang menyusut," kata Hasnain. "Tetapi ada masalah keamanan. NASA ingin melakukan penelitian udara tapi pemerintah India mengatakan `tak boleh` ... India sangat ragu dan mereka tak mau berbagi data."

Breashears mengatakan ekspedisi pendakian dan pengambilan fotonya berbahaya dan melelahkan karena ia mencari tempat yang menguntungkan yang digunakan lebih dari setengah abad lalu.

Satu gletser di dekat K2 memerlukan tiga pendakian setinggi 6.000 kaki sebelum ia menemukan pemandangan yang sama dengan yang dinikmati oleh Sella bertahun-tahun sebelumnya.

"Kami benar-benar terpana dengan orang yang pernah sampai ke sana," kata Breashears.

Generasi mendatang takkan menghadapi kesulitan yang sama sebab Breashears mencatat setiap koordinat GPS masing-masing tempat itu.

Sumber : Antara

Juli 21, 2010

"Utusan Khusus Presiden Perancis untuk Perubahan Iklim Jacques Le Guen didampingi Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan mencoba memeluk pohon akasia berumur 11 tahun di areal hutan tanaman industri PT Korintiga Hutani di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jumat (11/7/2010). Posisi Indonesia di daerah tropis membuat pohon tumbuh lebih cepat dibandingkan negara empat musim. Pohon akasia di Korea Selatan membutuhkan 100 tahun untuk mencapai ukuran tersebut."

Sangat disayangkan kalau masih ada orang yang berpikiran bahwa hutan hanyalah sekadar tegakan pohon. Pasalnya, di antara pohon-pohon yang ada di hutan terdapat sebuah ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang unik baik di atas permukaan maupun di bawah tanah.

Menurut Profesor Endang Sukara, Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di dalam tanahnya saja tersimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Misalnya, hasil penelitian LIPI terhadap tanah yang ada di kebun raya Bali dan Cibodas.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah di kebun raya tersebut mengandung sekitar 500 spesies bakteri Actinomycetes. Lebih mengejutkan, 30 persen di antaranya merupakan spesies baru yang belum dikenal di kalangan ilmuwan seluruh dunia.

"Betapa besarnya keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia," ujar Endang. Sayang sekali apabila kekayaan alam yang langka ini terabaikan manfaatnya. Bahkan, terancam hilang jika tidak segera diselamatkan dengan kebijakan yang menjaga keanekaragaman hayati tersebut.

Saat ini memang belum banyak penelitian di Indonesia yang memanfaatkan bakteri-bakteri tersebut. Namun, menurut Endang, Actinomycetes merupakan jenis bakteri yang selama ini banyak dipakai untuk membuat antioksidan. Bahkan, 98 persen antibiotik dibuat dari kelompok bakteri tersebut. "Jadi, kemungkinan untuk mengembangkan antibiotik jenis baru sangat besar," ujar Endang.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konversi hutan bukan semata-mata melihat dari sisi petimbangan karbon berdasarkan tegakan pohon saja seperti yang sering digembar-gemborkan saat ini seperti pembukaan kebun kelapa sawit. Ekosistem hutan terutama aspek mikrokosmos seringkali dilupakan dalam konversi lahan.

Hal tersebut menjadi salah satu perhatian para ahli biologi Indonesia yang akan berpartisipasi dalam konferensi internasional Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC) 2010 di Bali, 19-23 Juli 2010. Para ilmuwan Indonesia berusaha agar pertimbangan-pertimbangan sains yang membela kepentingan nasional dapat diterima komunitas internasional.


Juli 20, 2010

Foto : Reuters/David Chr

Prof Lonnie G Thompson, pimpinan kelompok peneliti inti es Papua, memperkirakan dalam waktu 20 hingga 30 tahun ke depan gletser di Gunung Cartensz, dekat Puncak Jaya, Papua, akan hilang sebagai akibat dari pemanasan global.

"Hampir pasti di sini dan di tempat-tempat tropis yang lain, kira-kira dalam 30 tahun mendatang gletser akan hilang akibat perubahan iklim," kata Lonnie Thompson yang juga guru besar pada Ohio State University di Timika, Sabtu (26/6).

Thompson memimpin proyek penelitian pengeboran inti es Papua 2010 yang dilakukan atas kerja sama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dengan Byrd Polar Research Center (BPRC) The Ohio State University, beranggotakan sejumlah peneliti dari Amerika Serikat, Rusia, Prancis dan Indonesia.

Kelompok peneliti pimpinan Lonnie Thompson selama 13 hari tinggal di tiga titik gletser yang masih ada di Papua yaitu gletser Cartensz, E Nortwall Firs dan W.Northwall Firs yang hampir habis atau hilang.

Menurut pengakuan Lonnie Thompson, selama 13 hari berada di kawasan gletser Papua, gletser setempat mengalami penurunan sekitar 30 centimeter. Ia memperkirakan, setiap tahun gletser Papua hilang beberapa meter.

Lonnie Thompson mengatakan, proses pencairan es pada gletser Papua sangat cepat akibat dari faktor iklim, di mana setiap hari di kawasan itu selalu turun hujan.

"Benar kalau gletser di sini kemungkinan akan cepat habis karena setiap hari turun hujan. Hujan merupakan salah satu faktor cuaca yang paling cepat menghabiskan gletser," katanya.

Selama berada di kawasan gletser Papua, Lonnie dan rekan-rekannya mengambil sampel 88 meter Ice Core dengan mengebor enam inti es sampai dasar es, lalu dipotong-potong menjadi satu meter dan dimasukan ke dalam freezer untuk diteliti lebih lanjut di Ohio State University Amerika Serikat.

Hasil penelitian ini diperkirakan akan selesai akhir tahun 2010 dan akan dipublikasikan sekitar bulan Juni 2011.

"Misi pengambilan sampel es ini untuk mendapatkan informasi iklim yang masih ada di gletser Papua sebelum informasi iklim itu akan hilang semua," jelas Lonnie Thompson.

Ia mengatakan, suhu rata-rata di kawasan gletser Papua pada siang maupun malam hari berkisar pada 5 derajat celcius hingga minus 5 derajat celcius di bawah 0.

Menurut Lonnie, gletser yang ada di pegunungan Papua merupakan yang paling rendah dibanding dengan gletser di tempat-tempat lain di berbagai belahan dunia.

"Kami sudah mengambil semua sampel es dari berbagai gunung di dunia, di mana yang tertinggi di pegunungan Himalaya (perbatasan Tibet dan China) dengan ketinggian sekitar 7.200 meter di atas permukaan laut. Sedangkan yang ada di Papua berada pada ketinggian di bawah 5.000 meter di atas permukaan laut," jelasnya.

Peneliti Dukung Pariwisata ke Puncak Catrensz

Foto : Reuters/wt

Pemimpin kelompok peneliti pengeboran inti es Papua Profesor Lonnie G Thompson mendukung program pariwisata ke Puncak Cartensz Papua yang sedang digarap Dinas Pariwisata setempat.

"Kalau lebih banyak orang yang datang untuk mengetahui ada gletser di Papua tentu lebih bagus karena saat ini banyak orang tidak mengetahuinya," kata Lonnie Thompson di Timika, Selasa (29/6).

Ia mengatakan, kondisi gletser Papua yang terus berkurang secara ekstrim dewasa ini akan memberikan pesan yang kuat bagi siapa pun yang mengunjungi kawasan itu akan kondisi bumi yang kian panas.

Meski demikian, Lonnie berharap agar kegiatan kepariwisataan ke Puncak Cartensz harus terkontrol secara baik untuk menjaga kondisi gletser dan gunung-gunung setempat tetap bersih.

"Itu yang sangat penting, aktivitas pariwisata harus tetap terkontrol," katanya.

Dinas Pariwisata Papua saat ini berencana membangun sejumlah cotage di sekitar Puncak Cartensz atau dalam bahasa Amungme disebut Nemangkawi untuk mendongkrak arus kunjungan wisatawan terutama para pendaki.

Selama ini para wisatawan memilih jalur dari Ilaga, Kabupaten Puncak untuk mendaki ke Puncak Cartensz dan harus menyiapkan tenda sendiri saat tiba di salah satu dari puncak tertinggi di dunia itu.

Sebelumnya, Lonnie memperkirakan umur gletser yang ada di Puncak Cartensz Papua hanya akan bertahan 20 hingga 30 tahun lagi akibat pemanasan global.

Lonnie mengatakan, proses pencairan gletser hingga pada akhirnya hilang semua merupakan suatu fakta yang tidak bisa dibendung dengan teknologi apa pun yang dimiliki manusia sepanjang kondisi panas bumi terus mengalami kenaikan.

"Gletser di sini dan di tempat-tempat tropis lainnya yang panas semua akan hilang akibat perubahan iklim," jelas Lonnie.

Ia mengatakan, hasil penelitian timnya akan selesai akhir tahun ini dan akan dipublikasikan sekitar Juni 2011.

Penelitian inti es Papua tersebut merupakan kerja sama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia dengan Byrd Polar Research Center (BPRC) The Ohio State University dan Lamont Doherty Earth Observatory (LDEO) Columbia University, Amerika Serikat .

Penelitian ini melibatkan sejumlah pakar dari Amerika Serikat, Australia, Perancis, Italia, dan Indonesia.

Sumber : Media Indonesia
Foto : Reuters

Juli 19, 2010


Keberadaan satwa harimau kini kritis, yakni di seluruh dunia hanya tersisa sekitar 3.200 ekor meliputi enam sub-spesies, yaitu Harimau Sumatera, Bengal, Amur, Indochina, China Selatan, dan Malaya.

Ancaman utama kepunahannya mencakup hilang dan terfragmentasinya habitat yang tidak terkendali, berkurangnya jumlah mangsa alami, perburuan dan perdagangan ilegal, serta konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar habitat harimau.

Laporan itu disampaikan Kementerian Kehutanan RI menyambut penyelenggaraan pertemuan delegasi 13 negara yang memiliki harimau alam bertajuk "Pre Tiger Summit Partners Dialogue Meeting" di Ayodya Resort Bali, Nusa Dua, Senin (12/7).

Kegiatan yang dijadwalkan dibuka Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tersebut, sebagai persiapan sebelum digelar konferensi internasional konservasi harimau tingkat kepala negara "World Tiger Summit" direncanakan dilaksanakan di Saint-Peterburg, Rusia pada 15 - 18 September 2010.

Menurut Ketua Forum HarimauKita Hariyo T Wibisono, dalam penjelasan bersama Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Dr Ir Harry Santoso, sub-spesies yang ada di Indonesia, Harimau Sumatera, kini populasinya sekitar 400 individu.

Populasi sebanyak itu, mewakili 12 persen dari total satwa langka itu di dunia. Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara kunci dalam pelestarian harimau di dunia.

"Ironisnya, habitat Harimau Sumatera telah menyusut hampir 50 persen dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Sekitar 70 persen dari habitat tersisa tersebut berada di luar kawasan konservasi yang tersebar pada setidaknya 20 petak hutan yang terisolasi satu dengan lainnya," papar Hariyo.

Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa sebagian besar populasi Harimau Sumatera yang tersisa tidak dalam perlindungan yang memadai.

"Oleh karena itu, menjadi penting bagi warga negara Indonesia untuk segera merapatkan barisan dan mengambil langkah konservasi yang konkret dan tepat, agar Harimau Sumatera tidak bernasib sama dengan kedua saudaranya yang lebih dahulu punah, yaitu Harimau Jawa dan Bali," ujarnya.

Direktur Eksekutif WWF-Indonesia Dr Efransjah menilai pentingnya langkah penyelamatan habitat yang tersisa, restorasi kawasan kritis, serta mengimplementasikan tata ruang yang mendukung pembangunan secara lestari, guna memberikan wilayah jelajah yang cukup bagi Harimau Sumatera.

"Masalah pentimgnya meminimalisir kemungkinan konflik dengan manusia, perlu menjadi agenda bersama dalam penyelamatan satwa dilindungi tersebut," katanya menegaskan.

Ia menambahkan bahwa penyelamatan hutan, penataan ruang secara lestari dan restorasi kawasan kritis habitat Harimau Sumatera juga sangat sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia kepada dunia dalam upaya mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan.

Pertemuan Bali Akan Pulihkan Harimau Dunia

Kementerian Kehutanan RI berharap pertemuan 13 negara yang memiliki harimau mampu menghasilkan rencana pemulihan harimau dunia sebagai kesepakatan antarnegara untuk pelestarian satwa tersebut, termasuk harimau sumatera (panthera tigris sumatrae).

Pertemuan itu diharapkan meningkatkan populasi harimau di alam menjadi dua kali lipat pada 2022, demikian siaran pers Kementerian Kehutanan RI yang tengah menggelar kegiatan bertajuk "Pre Tiger Summit Partners Dialogue Meeting" di Nusa Dua, Bali, Senin.

Selain itu, melalui kegiatan tersebut akan diformulasikan konsep "Deklarasi Para Kepala Negara" yang akan dibahas dalam pertemuan tingkat kepala negara di Rusia, September mendatang.

Saat ini, harimau berada dalam kondis kritis. Spesies harimau di seluruh dunia yang tersisa sekitar 3.200 ekor, meliputi enam sub sepsies, yaitu harimau sumatera, bengal, amur, indochina, china selatan, dan harimau malaya.

Ancaman utama kepunahannya, yaitu hilang dan terfragmentasinya habitat yang tidak terkendali, berkurangnya jumlah mangsa alami (babi dan rusa), perburuan dan perdagangan ilegal (Amerika dan Eropa), serta konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar habitat harimau.

Subspesies harimau yang ada di Indonesia, yaitu harimau sumatera, saat ini populasinya sekitar 400 ekor. Habibat harimau sumatera menyusut hampir 50 persen dalam kurun waktu 25 tahun terakhir.

Sekitar 70 persen dari habitat tersisa berada di luar kawasan konservasi yang tersebar pada setidaknya 20 petak hutan terisolasi satu dengan lainnya. Kondisi itulah yang menempatkan Indonesia sebagai negara kunci dalam pelestarian harimau dunia.

"Dengan menyelamatkan harimau, bukan hanya menyelamatkan satwa yang dilindungi, juga menyelamatkan habibat harimau tersebut," demikian Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Dr.Ir. Harry Santoso dalam penjelasan tersebut.

Seperti ajaran salah satu kitab Hindu (Sutasoma), populasi harimau yang baik merupakan indikator hutan yang sehat karena harimau butuh habitat yang sangat luas dan mangsa yang banyak.

Hutan yang kondisinya baik bukan hanya membawa manfaat dan kesejahteraan bagi jutaan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, misalnya, sebagai daerah resapan air, penyedia air bersih, sumer makanan, dan obat-obatan.

Selain itu, juga berkontribusi besar terhadap penurunan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim bumi.


Pemerintah Republik Indonesia bersama 12 negara di dunia yang memiliki harimau alam sepakat, mempertahankan hutan menjadi prasyarat mutlak guna menyelamatkan satwa itu dari kepunahan. Kerja sama lebih keras, saling tukar informasi lebih intens, sekaligus skema pendanaan yang sistematis dibutuhkan untuk merealisasikan gagasan besar itu.
”Pemulihan habitat harimau butuh pemulihan hutan. Sebab, populasi harimau yang baik merupakan indikator hutan yang sehat karena harimau butuh habitat yang sangat luas dan mangsa yang sangat banyak,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam pembukaan Pre Tiger Summit Partners Dialogue Meeting yang digelar di Nusa Dua, Bali, Senin (12/7).

Kementerian Kehutanan bersama Global Tiger Initiative- World Bank menjadi tuan rumah dalam pertemuan tiga hari itu. Negara lain adalah Banglades, Bhutan, China, India, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Rusia, Thailand, dan Vietnam. Pertemuan ini adalah pertemuan persiapan sebelum digelar Konferensi Internasional Konservasi Harimau Tingkat Kepala Negara, World Tiger Summit, di Saint-Petersburg, Rusia, 15-18 September 2010.

Zulkifli berharap, pertemuan ini dapat menghasilkan rumusan naskah Rencana Pemulihan Harimau Dunia sebagai kesepakatan negara untuk pelestarian harimau dan meningkatkan populasinya di alam menjadi dua kali lipat kondisi saat ini pada 2022. Disusun pula naskah Deklarasi Kepala Negara yang akan dibahas di Rusia nanti.

Kondisi kritis


Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) milik Bupati Purworejo, Jawa Tengah, nonaktif, Kelik Sumrahadi, yang disita oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah dititipkan di Kebun Binatang Gembiraloka Yogyakarta, Selasa (6/10). Sejumlah lembaga pecinta dan pemerhati lingkungan mencatat saat ini jumlah harimau Sumatera dewasa yang hidup liar di habitat aslinya hanya tinggal sekitar 250-300 ekor.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Kondisi harimau di dunia saat ini kritis, hanya tersisa tak lebih dari 3.200 ekor, meliputi enam subspesies, yaitu harimau sumatera, bengal, amur, indochina, china selatan, dan malaya. Penyebab kepunahan adalah hilang dan terfragmentasinya habitat secara tidak terkendali, berkurangnya jumlah mangsa alami, perburuan dan perdagangan ilegal, serta konflik dengan masyarakat di sekitar habitat.

Harimau sumatera tinggal 400 ekor atau 12 persen total populasi harimau di dunia. Habitatnya menyusut hampir 50 persen dalam 25 tahun terakhir. Sekitar 70 persen dari habitat tersisa itu ada di luar kawasan konservasi yang tersebar setidaknya di 20 petak hutan yang saling terisolasi.
”Peta jalan Jambi, Padang, Riau, dan Sumsel disusun untuk menjadi habitat harimau. Juga di Lampung di Tambling luasnya 60.000 hektar hingga 70.000 hektar. Kita juga memikirkan sumber makanannya,” kata Zulkifli.

Direktur Program Global Tiger Initiative-World Bank Keshav Varma menyatakan, Bank Dunia menyusun skema pembiayaan bersama. Untuk kawasan Asia Tenggara direncanakan dana 80 juta dollar AS.



Delegasi dari tiga belas negara sebaran harimau (Tiger Range Countries/ TRCs) yang berkumpul selama tiga hari di Bali, 12-14 Juli 2010, dalam "Pre Tiger Summit Partners Dialouge Meeting" berhasil merumuskan dua naskah penting. Kedua naskah tersebut sebagai landasan pertemuan tingkat Kepala Negara di St. Petersburg, Russia, 15-18 September 2010.

Kedua naskah tersebut adalah draf Rencana Pemulihan Harimau Dunia (Global Tiger Recovery Plan) sebagai draf kesepakatan antarnegara untuk pelestarian harimau dan konsep Deklarasi Para Kepala Negara (Leaders Declaration) dalam rangka melipatgandakan populasi harimau dunia di alam pada tahun 2022, tahun Harimau berikutnya dalam penanggalan Cina.

"Kehadiran dan partisipasi aktif dari delegasi 13 negara itu dalam merumuskan elemen-elemen penting rencana pemulihan harimau dunia, merupakan indikasi kuat bahwa mereka siap membuat komitmen di level yang lebih tinggi dalam upaya penyelamatan harimau dunia," ujar kata Nazir Foead, Direktur Kebijakan WWF-Indonesia dalam siaran persnya. Dukungan di tingkat kepala Negara, menurutnya, sangat dibutuhkan karena upaya penyelamatan harimau dunia membutuhkan komitmen politis yang besar.

Dalam Pre Tiger Summit Partners Dialogue Meeting yang diadakan di Nusa Dua Bali 12-14 Juli tersebut, 13 delegasi yang hadir yaitu dari Bangladesh, Bhutan, China, India, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Rusia, Thailand, dan Vietnam, memaparkan rencana upaya pemulihan populasi harimau di negaranya masing-masing. Rencana di tingkat negara tersebut menjadi dasar bagi Rencana Global Pemulihan Harimau Dunia, sebuah rencana melipatgandakan populasi harimau dunia di alam pada tahun 2022 yang keputusan finalnya akan disepakati di Rusia.

Selain delegasi dari 13 (tiga belas) negara yang memiliki harimau alam, acara tersebut juga dihadiri pula oleh para pakar, Global Tiger Initiative/World Bank, LSM nasional/internasional, media masa dan lembaga donor Dalam presentasi yang dipaparkan dalam pertemuan tersebut, secara keseluruhan, rencana 13 negara itu diperkirakan akan membutuhkan dana sekitar 356 juta dollar AS untuk implementasinya.

Pertemuan di Bali merupakan tindak lanjut proses pertemuan antarnegara yang pernah diadakan sebelumnya di Kathmandu, Nepal dan Hua-Hin, Thailand. Pertemuan yang diadakan di Kathmandu, Nepal pada Oktober 2009 menghasilkan rekomendasi 15 aksi global untuk menghentikan laju kepunahan dan memulihkan populasi harimau di dunia beserta komitmen sejumlah negara; sedangkan pertemuan tingkat menteri di Hua-Hin, Thailand "Asian Ministerial Conference on Tiger Conservation" telah menghasilkan Deklarasi untuk mendukung konservasi harimau dunia dan meningkatkan populasi harimau dunia menjadi dua kali lipat pada tahun 2022, yaitu Tahun Harimau berikutnya.

Saat ini harimau berada pada kondisi kritis. Spesies harimau diseluruh dunia saat ini hanya tersisa sekitar 3200 individu yang meliputi enam sub-spesies yaitu harimau Sumatera, Bengal, Amur, Indochina, Cina Selatan, dan Malaya. Ancaman utama kepunahannya mencakup hilang dan terfragmentasinya habitat yang tidak terkendali, berkurangnya jumlah mangsa alami, perburuan dan perdagangan ilegal, serta konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar habitat harimau.

Sub-spesies yang ada di Indonesia, harimau sumatera, dengan populasi sekitar 400 individu, mewakili 12 persen dari total populasi harimau di dunia - kondisi ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara kunci dalam pelestarian harimau di dunia.

Foto Harimau Sumatra : Wawan H Prabowo/Kompas

Sumber : Antara / Kompas

Juli 18, 2010

Kawan-kawan, hari ini Bulletin Sida Acuta akan menceritakan sekelumit pengalaman SAR dari rekan kita Theo...(red)


Halo Gank !!
Di kesempatan ini saya pengen berdongeng tentang operasi sar pesawat trike yang jatuh di pegunungan antara pangalengan sampai garut yang saya ikuti kurang lebih 2 minggu kemarin. Kebetulan saya diutus DP untuk terjun langsung ke lapangan.

Sebuah pesawat ringan jenis trike dengan register PK-135 milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) hilang di pegunungan Pengalengan Jawa Barat. Dua orang kru di atasnya, yaitu Noto dan Panji hingga hari ini belum ketahuan nasibnya.

Pesawat dipastikan lost contact Minggu (4/7) sekitar pkl. 14.00 WIB dalam rute penerbangan dari Pangandaran – Lanud Sulaiman Bandung. Menurut informasi di lapangan, pesawat sedang terbang rally dengan sebuah pesawat lain yaitu PK-201, yang dimulai tanggal 3 Juli 2010 dari Lanud Sulaiman ke Pangandaran.

Dalam perjalanan pulang dari Pangandaran itulah, hanya PK-201 dengan kru Anwar dan Ivan yang landing di Lanud Sulaiman, sedangkan PK-135 hingga sore menjelang tidak kunjung datang. Badan SAR Nasional yang menerima informasi ini sekitar pkl. 21.00 WIB langsung berkoordinasi dengan aparat terkait. Meskipun media massa sudah ramai memberitakan, namun informasi ini sempat di-pending karena kepastian hilang pesawat tersebut belum secara resmi dikeluarkan FASI.

Melalui Kantor SAR Jakarta, informasi itu akhirnya dirilis secara resmi pada Senin pagi (5/7) pkl. 06.00 WIB. Namun, sejak Minggu sore hingga malam hari tim FASI, Polsek Pengalengan dan masyarakat sekitar Gunung Wayang dan Gunung Sentosa Pengalengan.

Saya sendiri mendapat kabar dari rekan2 SADAGORI dan KBPA. Kebetulan saat dapat kabar hari Minggu malam saya masih di Jogja dan senin paginya dengan jiwa korsa yang tinggi (halah ..) saya langsung bergerak ke Bandung dan menuju posko SAR awal di Afdeling Santosa , perkebunan teh malabar, Pangalengan.Disana saya tiba di posko sar pukul 22.00 langsung disambut oleh rekan2 Pencinta alam yang lain yang paginya sudah menyisir gunung wayang - windu.

Pada hari rabu (7/7)terdapat kabar dari tim Paskhas bahwa tadi pagi menemukan material yang diduga pecahan pesawat Trike PKS 135 yang hilang itu. Material itu ditemukan di lereng gunung sekitar kawasan Marungkut - Cileuleuy, Kabupaten Garut.

Pasukan dan Posko sar pun bergerak ke afdeling cileleuy sebelah selatan santosa. Tapi ternyata eh ternyata setelah disisir hasilnya negatif karena pasukan yang mengaku melihat puing2 pesawat hanya dari punggungan dan menggunakan binokular. Padahal Danrim , Danlanud , dari pihak polisi sudah siap2 potong tumpeng.

Pengumpulan data dan informasi yang lambat dan simpang siur membuat pencarian tidak efektif. Saya sendiri masuk di tim gabungan Pencinta Alam yang dikomandani kang Kopral. Areal penyisiran terus bergerak ke selatan dari gunung Kencana, Geulis, Kasang, Marungkut sampai masuk kabupaten Garut. Vegetasinya masih rapat dan tampak jarang dimasuki orang. Rekan kami pun sempat melihat macan.

Setelah mendapat info dari masyarakat desa gunung Jampang kecamatan Pakenjeng , Garut bahwa masih tampak 2 pesawat yang satu terbang tinggi dan yang dibelakangnya terbang rendah. Kami pun bergerak semakin selatan ke desa Arjuna. Dan Pencarian hari Minggu 11/7 itu menyisiri puncakan Panengen dan Tamiang Sangkir dari sana sempat terlihat buih2 air laut pantai Santolo. Dan tetap hasil masih negatif.

Setelah satu minggu tim paskas, tentara dan basarnas ditarik mundur karena secara resmi operasi sar sudah berjalan seminggu. Akan tetapi operasi sarnya sendiri masih berlanjut dengan SMCnya DANLANUD dan dilapangan pasukan terdiri dari gabungan pencinta alam dari macam2 organisasi Wanadri, Gadamusa,Sar Unpad, Sadagori, Mahitala, KMPA ITB, GPA, SAS TELKOM,dan PA lain yang kurang lebih 30 personil

Penyisiran semakin menyempit setelah mendapat informasi dari BTS Telkom hp non aktif dengan radius 60 km dan informasi masayrakat yang melihat bahwa pesawat masuk ke celah lembahan dari gunung jampang kearah utara yang kata masyarakat terdapat situ cirompang. Penyisiran secara flyingcamp 2hari 2malam sudah pake metode 2. Medannya termasuk sulit, vegetasinya rapat apalagi ditambah banyaknya rotan. Karena berada di lembahan banyak yang menjadi korban pacet. Sampai situ cirompang yang lebih tampak seperti rawa karena sudah ditutupi tumbuhan diatasnya hasilnya pun negatif. Kang kopral sebagai yang tampak lebih berperan sebagai SMC memperpanjang opersi SAR sampai tanggal 25/7 2010. Saya pun tarik mundur ke Bandung tanggal 16/7 setelah miminta ijin SMC.

Memang operasi sar tersebut belum menemukan hasil yang memuaskan tapi banyak hal yang saya dapat dari menambah rerencangan , merasakan operasi sar, susahnya menebas hutan rotan, sampai sosiologi pedesaan karena desa2 tersebut memang jarang dikunjungi orang.

Avignam Jagad Samigram. Hidup SADAGORI,..

HOWGH
Theodorus BNP

Juli 13, 2010


Gunung Gede (2.958 mdpl) di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) salah satu tujuan favorit wisata dan olahraga alam yang bisa ditempuh sekitar 100 kilometer dari Kota Jakarta.

Setiap musim liburan, taman nasional yang memiliki luas 21.975 hektar ini selalu ramai dikunjungi. Pendakian menuju puncak Gunung Gede berjubel ditambah dengan wisatawan yang hendak menuju air terjun Cibeureum.

Jalur yang banyak ditempuh pendaki untuk mencapai puncak adalah melalui pintu gerbang Kebon Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat. Kemudian mendaki lewat Telaga Biru, air terjun Cibeureum, air panas, dan Kandang Badak.
Jalur ini dibuat oleh Blume, orang pertama yang mendaki lewat Cibodas. Dari Kandang Badak, dia berjalan ke kawah, menyusuri kaki Gunung Gede yang terjal, yang sekarang dikenal dengan "tanjakan setan" dan berakhir di Alun-alun Suryakencana.

Para pendaki menyukai “Jalur Blume” karena bisa menyaksikan berbagai keindahan alam yang asri. Setelah mendaftar di pos Cibodas, pendaki akan menyaksikan Telaga Biru di ketinggian 1.575 meter dari permukaan laut (mpdl) atau dengan jarak tempuh perjalanan sekitar setengah jam.
Selepas menikmati telaga, 40 menit kemudian kita bisa menikmati indahnya air terjun Cibereum (1.675 m.dpl).

Perjalanan selepas air terjun mulai terjal dengan kondisi jalan yang lebih buruk. Sekitar sejam perjalanan setelah air terjun, air panas sudah menantikan para pendaki. Suhunya berkisar 50-700 derajat celsius.

Serasa mandi sauna ketika melewati air panas, karena uapnya pasti menerpa seluruh tubuh. Ada baiknya, bagi pendaki yang berkacamata agar melepaskannya karena akan sulit melihat dalam kondisi penuh kepulan asap.

Setelah hampir 3,5 jam perjalanan dari pos Cibodas, pendaki akan menemui tempat berkemah yang biasa disebut Kandang Batu (2.220 mdpl). Tempat ini cocok menjadi tempat bermalam karena tanahnya landai dan ada aliran sungai. Namun, tempat berkemah favorit adalah di Kandang Badak (2.395 mdpl). Tanah landai di tempat ini memang lebih luas dan tersedia kakus. Dulunya disini ada rumah (shelter), namun sekarang hanya tinggal dinding.

Perjalanan menuju puncak tinggal 2 jam. Bagi yang ingin menikmati matahari terbit, dianjurkan pendakian dari tempat ini dimulai sekitar pukul 2.00 dini hari. Perjalanan menuju puncak adalah medan terberat. Jarak antara Kandang Badak dan puncak hanya 563 meter, namun waktu tempuh bisa mencapai 2-3 jam, tergantung kemampuan pendaki.

Menjelang puncak kita harus berhadapan dengan "tanjakan setan" yang sangat terjal. Tapi jangan khawatir, disediakan tali untuk mendaki. Keletihan menggapai puncak bisa terobati karena perjalanan menuju puncak disebelah kiri terdapat kawah.

Setelah mencapai puncak, rasanya kurang lengkap jika belum melihat bunga edelweiss (Anaphalis javanica) di Alun-Alun Surya Kencana di ketinggian 2.800 mdpl. Perjalanan ke alun-alun sekitar sejam. Luas alan-alun yang mencapai 50 hektar terhampar edelweiss yang sangat menarik untuk diabadikan.

Setelah puas menikmati Edelweiss, kita bisa turun dari utara melalui Pos Gunung Putri, Cianjur atau lewat selatan melalui Pos Selabintana, Sukabumi.


Para pendaki beristirahat di Kandang Badak di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Bogor, Jawa Barat, Minggu (11/07/2010). Kandang Badak berada pada ketinggian 2.220 meter di atas permukaan laut (mdpl), sering digunakan sebagai tempat berkemah sebelum menuju puncak Gunung Gede pada ketinggian 2.958 mdpl.



Tidak ada yang bisa menyangkal dampak buruk pemanasan global. Frekuensi topan, badai, dan angin puting beliung di beberapa negara, termasuk Indonesia, makin sering terjadi dibandingkan 20 tahun lalu. Ini adalah bukti nyata. Seruan global pengurangan suhu global pun membahana.

Pertemuan negara-negara pemilik hutan tahun 2005 di Marakesh, Maroko, juga menyepakati pelestarian lingkungan. Tanpa seruan global, Indonesia sejak tahun 1970-an sudah mencanangkan pelestarian hutan, termasuk reboisasi.

Namun, pengurangan hutan terjadi. Faktor-faktor penyebabnya adalah pertambahan jumlah penduduk dari 120 juta orang menjadi 240 juta orang sekarang ini, ekspansi perkebunan kelapa sawit serta kepentingan bisnis yang menopang pertumbuhan ekonomi, dan penyelundupan hasil kayu ke luar negeri.

Tak semua perambahan hutan negatif karena itulah salah satu konsekuensi pembangunan ekonomi, termasuk penyediaan lahan untuk perumahan dan pabrik. Hal yang mungkin dicegah keras adalah perambahan hutan untuk ekspor gelondongan ilegal.
Hal yang mendorong tulisan ini adalah bersama negara lain pemilik hutan, Indonesia menjadi sorotan soal pelestarian demi penurunan pemanasan global. Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan, Indonesia penghasil karbon dioksida (CO) terbesar akibat perambahan hutan, tuduhan kontroversial.

Ada beberapa hal yang mencurigakan. PBB memiliki skema pelestarian hutan, yang dinamai Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Pendukung REDD mengatakan, cara ini terbaik dan tercepat. REDD diperkuat pada pertemuan Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.
Indonesia berkomitmen melakukan skema REDD. Imbalannya, Indonesia mendapatkan bantuan dari Norwegia 1 miliar dollar AS. Hal ini juga akan diterapkan di Brasil, sejumlah negara di Amerika Selatan, Asia, dan Pasifik Selatan. Sekelompok negara maju, termasuk Australia, Inggris, Denmark, Perancis, Jerman, Jepang, Swedia, dan AS, berkomitmen untuk pendanaan REDD.

Indonesia berkomitmen menanami pohon di lahan seluas 21 juta hektar untuk mengurangi 26 persen emisi rumah hijau pada 2020 dari level 1990 dan akan mengurangi 41 persen jika ada tambahan dana dari Barat.

Mengapa harus mengandalkan bantuan asing untuk reboisasi. Bukankah ada dana reboisasi?

Mengapa pendalaman skema REDD mengalami kemajuan pesat dibandingkan program utama pemanasan global? Bukankah mayoritas pemanasan global disebabkan emisi di luar kerusakan hutan? Sejumlah ahli mengatakan, kontribusi kerusakan hutan pada emisi global adalah 15 persen, selebihnya adalah emisi bahan bakar fosil, yang meningkat lebih cepat ketimbang deforestasi.

Intergovernmental Panel on Climate Change memperkirakan perubahan fungsi lahan memberikan kontribusi CO sebanyak 1,6 Gt karbon per tahun. Sebagai perbandingan, emisi bahan bakar menyumbang CO sebesar 6,3 Gt karbon.

Mengapa hutan di sejumlah negara berkembang menjadi sasaran. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyebutkan, deforestasi hutan global mencapai 13 juta hektar per tahun, termasuk hutan-hutan di negara kaya.


Harian India, The Times of India, edisi 28 Mei 2010, mempertanyakan, mengapa China dan India tak diikutkan dalam REDD. Pada pertemuan di Oslo, Oslo Climate and Forests Conference, 27 Mei, Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg menjawab. ”Kami akan fokus pada semua hutan. Namun, kami kini masih lebih memusatkan pada pelestarian hutan yang ada saja dulu,” kata Stoltenberg.

Para peneliti terus mempertanyakan keanehan itu. ”Penanganan hutan-hutan di negara maju juga tidak kalah penting,” kata Michael Richardson dari artikelnya berjudul ”Ensuring Redd is Not Mere Pulp Fiction” di The Straits Times edisi 7 Juni. Richardson adalah peneliti di Institute of Southeast Asian Studies.

Para aktivis dan elite terkait pembangunan ekonomi dan lingkungan yang paham artikel Richardson secara implisit menyindir kecurangan Barat, yang mendambakan pertumbuhan dengan toleransi polusi dikompensasikan dengan pelestarian hutan di negara berkembang, yang paling membutuhkan pembangunan ekonomi untuk mengangkat status sosial ekonomi 1,2 miliar orang global.

Pertemuan di Bonn

Skandal makin terkuak pada pertemuan di Bonn, Jerman, 31 Mei-11 Juni, yang dihadiri perunding dari 185 negara. Pertemuan menyepakati pengurangan emisi 80-95 persen pada tahun 2050 untuk negara maju dan tak terlihat rencana untuk 2020. Basis pengurangan emisi juga bukan 1990. AS menginginkan basisnya adalah tahun 2005.

Pertemuan Bonn sukses menancapkan REDD, berupa bantuan 10 miliar dollar AS per tahun selama 2010-2012 hingga lebih dari 100 miliar dollar AS sejak tahun 2020.
Negara berkembang menilai tak ada kemajuan mendasar soal perang melawan pemanasan global. ”Diskusi tidak menyangkut esensi,” kata Kim Carstensen dari WWF International.
Ketua Delegasi Bolivia Pablo Solon mengatakan, ”Ini bukanlah debat yang kita inginkan.”

Ketua Badan PBB soal Iklim (UN Framework Convention on Climate Change) Christiana Figueres mengatakan, pemerintahan harus menghadapi tantangan ini. Yvo de Boer, yang digantikan Figueres, pesimistis. ”Kita dalam perjalanan panjang untuk mengatasi perubahan iklim,” kata De Boer.

Alden Meyer dari Union of Concerned Scientists, berbasis di AS, meledek. ”Harapan Figueres terlalu tinggi.”
Harian Inggris, The Guardian, edisi 9 Juni menuliskan hal yang lebih maut lagi. Ketimbang mengurangi emisi minimal 30-40 persen pada 2020, negara maju malah menaikkan emisi 8 persen. Hal ini dilakukan dengan melakukan trik dalam kalkulasi pengurangan emisi. Trik ini adalah penggunaan pasar karbon untuk melegalkan emisi sebanyak 30 persen di negara maju dengan kompensasi pelestarian di negara lain.

Harian yang sama edisi 8 Juni menuliskan, Barat melakukan tipuan dengan mempersembahkan data penanaman hutan, tetapi menunjukkan data penebangan nyata. ”Ini skandal yang tak punya rasa dan malapetaka bagi iklim,” kata Sean Cadman dari Climate Action Network, koalisi dari 500 kelompok lingkungan dan pembangunan dari seluruh dunia. ”Hanya Swiss yang tidak mau melakukan itu,” kata Cadman.

Demikian pula soal komitmen bantuan untuk REDD. Bantuan yang dinyatakan adalah bantuan yang sebelumnya dijanjikan diberi, tetapi dialihkan ke bantuan pelestarian hutan.
Antonio Hill dari Oxfam mengingatkan negara berkembang bahwa ada potensi bantuan itu akan menjadi utang dan akan merugikan karena bantuan REDD berasal dari bantuan yang tadinya diperuntukkan bagi peningkatan sistem kesehatan dan pendidikan. Ketua Delegasi Uni Eropa Laurent Graff membantah. ”Bantuan itu nyata dan benar-benar dipersiapkan.”

Sumber : Kompas

Kredit Foto : Saeful Rahman


Tiga tahun terakhir ini Putu Suastawa rajin mendampingi penyelaman untuk riset ilmiah atau sekadar ekoturisme bawah laut di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Selama itu pula Putu belum pernah menjumpai terumbu karang memutih dan dia tak pernah berharap untuk melihatnya.

Akan tetapi, akhir-akhir ini ia mulai menjumpai pemutihan terumbu karang. Ini adalah tanda adanya kerusakan, bahkan mungkin menuju kematian hewan dari ordo Scleractinia ini.

"Pada bulan tiga (Maret) tahun ini saya mendampingi penyelam ahli karang dari Inggris. Waktu itu tidak ada pemutihan karang, tetapi dia mengatakan, akan terjadi pemutihan (bleaching). Dan, sekarang benar terjadi," ujar Putu, anggota Polisi Kehutanan Taman Nasional Wakatobi, Rabu, 2 Juni lalu.

Putu mengatakan itu saat turut pada penyelaman bersama tim Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) di selat Pulau Wangi-wangi dan Kapota di Wakatobi. Tim Bakosurtanal dari Bidang Inventarisasi Sumber Daya Alam Laut sedang melanjutkan penyusunan pemetaan pulau-pulau kecil.

Luas wilayah Wakatobi sekitar 1,39 juta hektar dengan 97 persen berupa perairan dengan keanekaragaman hayati terumbu karang tergolong paling tinggi di dunia.

Nama Wa-ka-to-bi adalah singkatan nama empat pulau utama, yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Selebihnya, masih ada 35 pulau kecil lainnya yang sebagian tidak berpenghuni.

Ketika kami menyelam, amat mudah menjumpai berbagai spesies karang. Dari paparan Bupati Wakatobi Hugua, di Wakatobi ada sekitar 750 spesies karang dari total 850 spesies di dunia.

Fenomena pemutihan atau pemudaran karang dipicu perubahan kondisi lingkungannya secara drastis. Penyebabnya, antara lain, adalah perubahan suhu laut, sedimentasi, dan penggunaan racun atau bom untuk menangkap ikan.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Suharsono, karang yang terserang pemutihan sulit mengelak dari kematian. "Sekitar 60-90 persen karang yang terkena pemutihan akan mati," kata Suharsono.

Saat ini ditengarai tengah terjadi awal pemutihan massal karang di sejumlah wilayah perairan Indonesia. Membentang mulai dari perairan Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam, hingga Nusa Tenggara Timur karang mulai mengalami pemutihan.

Pemanasan global

Kepala Bidang Inventarisasi Sumber Daya Alam Laut Bakosurtanal Yulianto mengatakan, di antara ekosistem pesisir yang terpenting, ekosistem terumbu karang adalah yang terparah.

Dia mengatakan, akhir-akhir ini ditemukan perangai alam yang tidak menentu, indikasi dari dampak pemanasan global. Yulianto menyebutkan ada istilah lokal meitike, di kawasan perairan Maluku Tenggara, yaitu kondisi saat laut surut lebih lama dibandingkan biasanya.

"Meitike bisa sampai enam jam. Ketika itu terjadi, sebagian dasar laut kering dan masyarakat nelayan bisa memungut ikan-ikan yang terjebak di sela-sela terumbu karang," kata Yulianto.

Bila itu dianggap sebagai dampak pemanasan global, menurut Yulianto, dibutuhkan data pembanding. Setidaknya, data 30 tahun terakhir.

Meitike, diakui Yulianto, menyebabkan sebagian terumbu karang rusak. Namun, pemutihan terumbu karang di Wakatobi belum bisa ditentukan penyebabnya.

Hugua, Bupati Wakatobi, mengatakan, pemutihan terumbu karang sangat jarang terjadi di sana. Beberapa waktu lalu, ketika menyelam dalam rentang 200 meter, ia melihat terumbu karang memutih, luasnya sekitar 20 cm x 30 cm.

Atol terpanjang

Wakatobi dengan jumlah penduduk sekitar 100.000 jiwa kini makin dikenal sebagai daerah tujuan wisata bahari dan kegiatan riset terumbu karang. Wisatawan datang dari sejumlah negara.

Menurut Hugua, Juni sampai Agustus biasanya sebanyak 600-1.000 orang dari luar negeri berdatangan. Sebagian besar dari mereka meneliti lingkungan bahari di Wakatobi. ”Sampai saya bertanya, di mana periset dalam negeri? Mengapa yang datang meriset justru dari luar negeri,” kata Hugua.

Menurut Hugua, Wakatobi memiliki atol tunggal terpanjang di dunia. Panjangnya sampai 48 kilometer di dekat Pulau Kaledupa. Great Barrier Reef, Australia, yang panjangnya sekitar 2.237,4 kilometer bukan atol tunggal, melainkan berupa gugusan.

Saking beragam dan menyebarnya terumbu karang di berbagai perairan Wakatobi, pemerintah daerah setempat menuliskan slogan menarik di berbagai lokasi. Salah satunya, "Selamat jalan dari bumi-surga nyata bawah laut di jantung segitiga karang dunia Kabupaten Wakatobi". Ini tertera di salah satu pintu masuk pelabuhan di Wanci di Pulau Wangi-wangi.

Slogan itu tak selamanya dimengerti masyarakat. Salah satu kepala desa di Pulau Kapota, La Hasirun (55), mengatakan, masyarakat tidak pernah bisa memakai alat selam untuk mengetahui benar tidaknya apa yang disebut "surga bawah laut". "Bagaimana masyarakat bisa menyayangi surga bawah laut jika tidak pernah mengenalnya?" kata Hasirun.

Seumur-umur Hasirun belum pernah menggunakan alat selam seperti para pengunjung di Wakatobi. Menyelam untuk sekadar melihat terumbu karang pun jarang dilakukan.

Seperti masyarakat lainnya, hidup di laut yang penting menangkap ikannya. Mereka tak peduli dengan istilah "surga bawah laut" untuk menyebut keelokan terumbu karangnya.

Dan, saat terjadi pemutihan terumbu karang seperti sekarang, mereka pun tak mampu mengetahui: mereka harus berbuat apa.(Nawa Tunggal)

Sumber : Kompas
 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff