Februari 04, 2020



Dari banyak band tahun ‘70 – ‘90 an, Dire Straits adalah salah satu favorit.  Petikan gitar dan vokal Mark Knopfler yang berat nan powerful adalah mood booster di pagi hari sebelum pergi ke sekolah, dulu.  Efektif mengusir rasa kantuk.  Seingat saya hanya lagu ‘Why Worry’, ‘Brother In Arms’, dan ‘Your Latest Trick’ yang dibawakan dengan gaya slow.  Sisanya nge-beat.

Band ini  dibentuk pada tahun 1977 di London, Inggris, oleh Knopfler bersaudara, Mark dan David.  Mark sebagai lead gitar sekaligus vokal, adapun David menjadi backing vocal dan rhythm. Mereka didukung oleh John Illsley pada bas dan Pick Withers yang bertanggung-jawab pada drum dan perkusi.  Periode aktif Dire Straits terbagi menjadi dua, tahun 1977 – 1988 dan tahun 1991 – 1995.

Periode pertama diisi dengan kesuksesan album Dire Straits (1978), Communique (1979), Making Movies (1980), Love over Gold (1982), dan Brother in Arms (1985).  Secara berturut-turut album-album itu mengantarkan Dire Straits ke puncak keterkenalan dan membuat mereka mendapatkan 4 kali Grammy Awards, tiga kali Brit Awards, MTV video music awards, dan berbagai penghargaan lain.   Album-album itu ditandai dengan hits seperti Romeo and Juliet, Sultans of Swing, Brother in Arms, Walk of Life, Money for Nothing, dan banyak lagi.

Adapun periode kedua hanya diisi dengan album On Every Street (1991) yang secara komersial tidak sesukses pendahulunya.

Periode vakum antara 1989 sampai tahun 1990 dimanfaatkan untuk istirahat dari publikasi setelah kesuksesan dan popularitas diraih oleh band.  Rupanya cape juga ya jadi orang terkenal, sampai harus istirahat.  Pantesan pernah ada berita Raffi Ahmad mau vakum dulu dari dunia hiburan dan mau liburan keliling dunia, karena sudah cape terkenal.  Adapun Mark Knopfler memanfaatkan masa vakum tidak untuk keliling dunia tapi fokus pada projek solo dan mengisi musik untuk film.

Pada tahun 1980, David Knopfler meninggalkan band dan memilih bersolo karir.  Pecah kongsi dengan Mark.  Seperti group Oasis, kakak beradik Noel dan Liam Galagher yang pecah kongsi.  Saya suka sedih kalau melihat band yang bubar, apalagi jika mereka bersaudara.  Andai saja mereka mau meneladani group Bimbo yang kompak akur sampai tua.

Dari banyak lagu Dire Straits yang saya suka, The Telegraph Road, yang adalah masterpiece sekaligus centerpiece dari album Love Over Gold, adalah juaranya.  Lagu ini ditulis Mark Knopfler pada saat ia dalam perjalanan melalui Telegraph road yang terletak di negara bagian Michigan, dekat kota Detroit.  Mark Knopfler saat itu sedang membaca novel The Growth of the Soil karya Knut Hamsun yang kurang lebih bercerita tentang perkembangan peradaban di Norwegia dari budaya agraris ke periode industrialisasi dan modernisasi.

Terinspirasi oleh buku itu, serta melihat nama jalan yang terbentang didepannya, lahirlah lagu The Telegraph Road.  Lagu ini bercerita tentang tumbuh dan surutnya sebuah peradaban.  Diawali oleh kepioniran seseorang yang membangun rumah dan ladang yang letaknya jauh dari mana-mana, setidaknya ia telah berjalan 30 mil untuk sampai ke situ.  Kemudian datanglah orang lain yang kemudian mukim dan juga bertani di sana.  Lalu berkembanglah tempat tersebut menjadi pemukiman yang besar, sebuah kota industri dengan populasi yang besar.

A long time ago came a man on a track
Walking thirty miles with a sack on his back
And he put down his load where he thought it was the best
Made a home in the wilderness
He built a cabin and a winter store
And he ploughed up the ground by the cold lake shore
And the other travelers came walking down the track
And they never went further, no, they never went back

Kemudian didirikanlah sekolah-sekolah, dibuatlah gereja-gereja, dibuatlah peraturan, muncullah para pengacara.   Semakin besar ketika kemudian dibuatlah pertambangan, dibuatlah jalan-jalan, timbulah kemacetan, timbulah pemecatan.  Munculah ironi.  Ketika kemajuan perekonomian, kemajuan peradaban, justru melahirkan kerakusan, pertikaian antar manusia.  Kedamaian kehidupan di periode awal kehidupan agraris hilang terenggut oleh ketamakan industrialisasi.

Then came the churches, then came the schools
Then came the lawyers, then came the rules
Then came the trains and the trucks with their load
And the dirty old track was the Telegraph Road
Then came the mines, then came the ore
Then there was the hard times, then there was a war
Telegraph sang a song about the world outside
Telegraph Road got so deep and so wide
Like a rolling river

Masih ada beberapa bait lagi yang bercerita tentang kejayaan dan mulai runtuhnya kejayaan itu.

Begitulah, lagu ini bercerita tentang tumbuh dan berubahnya peradaban, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.  Lengkap dengan dampak yang ditimbulkannya.

The Telegraph Road adalah lagu yang tidak biasa.  Dari sisi durasi, ia terhitung sangat panjang.  14 menit!  Itu versi standarnya.  Ketika dibawakan dalam pertunjukkan langsung, ia bisa mencapai 15 menit.  Seolah ingin menunjukkan perubahan peradaban yang diceritakan lagu itu, Mark Knopfler dan kawan-kawan memainkan musik dalam The Telegraph Road mulai dari lemah lembut lambat membuai, hingga ke tempo yang sangat cepat dimana tidak banyak musisi dapat memainkannya.  Dari suara berat yang perlahan muncul dari kejauhan sampai teriakan yang diiringi pukulan tuts piano yang megah dan riuh.  Semuanya dibawakan dengan indah dan serasi sehingga 14 menit untuk lagu ini terasa sebentar saja.

Itulah kehebatan musisi.  Hanya dalam satu lagu, ia mampu bercerita beberapa pelajaran sekaligus.  Sosial, ekonomi, dan boleh jadi psikologi.  Juga sejarah.  Yang kalau dibuat dalam buku pasti akan menghabiskan ratusan halaman dan ribuan kata.  Oleh Mark Knopfler, puluhan buku itu dibungkus dalam sebuah lagu yang memberi pelajaran kepada kita bahwa ketamakan manusia akan menghancurkan dan meninggalkan kejayaan yang didapatkan, menjadi puing-puing belaka.  Dahsyat.

Rock on, Mark.

Howgh,

(seperti yang dituliskan oleh Nirwan Nugraha di WA Grup Sadagori 27 Januari 2020)
Ternyata saudara-saudara, naik kereta api dari Bangkok kurang elok pemandangannya. Tadinya saya berharap bisa melihat Thailand yang hilly dan scenic, tapi yang dilihat hanya hamparan sawah, hamparan ilalang, dan banjir yang lidah airnya merendam sebagian rel kereta api. Keretanya sendiri, karena banjir itu, sering memperlambat jalannya sehingga perjalanan yang seharusnya 12 jam molor menjadi hampir 14,5 jam. Wareg lah calik na kareta! Ketika sampai di Stasiun Chiangmai waktu sudah mendekati Pukul 11 malam. Stasiun Chiangmai tidak terlalu besar, seukuran Stasiun Banjar lah. Tapi memang lebih bersih dan tertib. Terasa waktu mencoba toilet yang berbayar THB 3, tidak ada bau yang gak enak. Air, sabun cuci tangan, dan tisu tersedia. Nyaman.

Keluar dari stasiun, tidak ada taxi meter, akhirnya naik mobil pribadi yang dijadikan taxi untuk menuju hotel yang jaraknya sekitar 5 km seharga THB 100. Nu nyupiranna ibu-ibu usia 50-an awal sigana. Berarti mun ibu-ibu mau nyupiran 'mobil umum' di stasiun boleh lah diasumsikan bahwa tempat itu aman. Si Ibu oge nawaran sewa mobilnya untuk tour ke sekitar Chiangmai. Ngan hanjakal bahasa Inggris na rada harese, sababaraha kali ngobrol jadi teu nyambung atawa si Ibu na nyarios teu ngartos. Ti stasiun langsung ka Holiday Inn. Untunglah kami mendapat discount rate dari Asiarooms, untuk kamar executive di Holiday Inn dapet THB 5000, sekitar 500 ribu semalam. Kamarnya besar dan mewah, dengan pemandangan ke arah sungai Ping yang lebar dan airnya mengalir deras.

Jadi, setelah di Bangkok menginap di Shangri La dengan pemandangan sungai Chao Praya, kembali kami menikmati kamar hotel dengan pemandangan sungai di Chiangmai. Dengan hotel yang tidak kalah luxurious..., meni ngagaya pisan he he he...

Cape perjalanan panjang kareta api matak tibra bobo.

Hari ini, setelah semalam beristirahat dari penatnya perjalanan, dan memulai sarapan pagi yang melimpah di hotel, Ninin dan saya mencari informasi kepada hotel untuk tempat-tempat yang worth visit, sekaligus alternatif transport yang paling murah dan nyaman. Setelah membanding-bandingkan dengan gaya budgeted tourist, ternyata transport yang paling baik adalah menyewa dari hotel. Dengan THB 1200 kami dapat van yang lega, supir berbahasa Inggris, cooler dengan persediaan air minum, dan yang penting waktunya tidak dibatasi.

Ninin, Cisca, dan saya memutuskan untuk pergi ke daerah Mae Taeng dan ke Doi Suthep. Mae Taeng berjarak sekitar 20 km dari kota dimana terdapat Snake Farm, Tiger Kingdom, dan Elephant Camp. Letaknya satu sama lain cukup dekat, kurang lebih 5 km saja. Sebetulnya ada banyak kegiatan outdoor di daerah itu, ada motocross, ATV, mountain bike, airshot gun, bahkan penangkaran monyet. Tempat yang didatangi pertama adalah Tiger Kingdom.

Tapi harapan tinggal harapan, ternyata bukan sebuah reservasi harimau yang kami temui, tapi hanya 36 ekor harimau yang sudah dijinakkan dan siap untuk berfoto bersama pengunjung. Kuciwa deh, hanya melihat-lihat sebentar tanpa membeli tiket, kami putuskan untuk mengucapkan selamat tinggal. Bade difoto jeung maung mah di Taman Safari we nya. 2 km dari situ, kami berhenti di Snake Farm. Harga tiket masuk THB 200.

Ini baru menarik. Yang menarik memang bukan melihat ular-ular yang bengong ngalamun didalam kandang, tapi atraksi ular. Dalam arena berbentuk lingkaran berdiameter 4 meter, sang pawing yang disebut Snake Man melakukan aksinya. King Cobra diganggu sehingga berusaha mematuk, tapi dengan kelihaian yang luar biasa, pawang itu selalu berhasil lolos dari patukan ular, bahkan akhirnya ular bisa dicium dan ditangkap. Lalu dipaksa untuk mengeluarkan bisa kedalam gelas yang ditutup plastik.

Cobra galak itu dibuat tidak berdaya mungkin kalau dia manusia mah geus diwiwirang, ibaratna preman garang yang dibikin takluk tidak bisa apa-apa. Selanjutnya atraksi dengan menggunakan ular Piton, ular Pohon, dan ular Sapi. Ternyata sambil beratraksi, si pawang memperhatikan pengunjung mana yang terlihat paling takut, untuk kemudian dengan sengaja membawa ularnya mendekati pengunjung itu. Puguh tambah sieuneun. Bahkan di satu kesempatan ketika ular masih didalam kotak dan hendak dikeluarkan dengan bambu, MC mengumumkan bahwa ular pohon itu mampu melompat sejauh 6 meter dan meminta pengunjung untuk lebih berhati-hati. Na eta mah jug belewer teh tina peti ngapung ka turis anu sieunan tea, ampir we manehna ngajuralit tina bangku, singhoreng tambang anu ngahaja disiapkeun jang nyingsieunan. Jail pisan!

Saya senang bisa melihat pertunjukan itu karena asa kacumponan cita-cita. Baheula pernah nongton film dokumenter di Discovery Channel tentang perjuangan seorang anak di daerah itu yang ingin menjadi snake man. Si budak nu umurna kakara 8 taunan difilmkeun latihan terus menerus mengikuti pamannya yang telah menjadi snake man terkenal, hingga akhirnya dia bisa memulai pertunjukkannya yang pertama. Resep ningali filmna, akhirna kacumponan ningali langsung pertunjukanna.

Setelah snake farm, perjalanan dilanjutkan ke Elephant Camp. Tiba disana Pukul 12.45, karena Elephant Show baru maen jam 1.30, sempet puter-puter heula ningalian lingkungan camp. Sempet ningalian gajah nu diparaban, dimandian, sapawangna-sapawangna ti mimiti gajah leutik nepi ka anu sagede gajah, enya gede pisan maksudna. Elephant Camp teh teu gede-gede teuing, paling oge sagede Camping Ground Cikole, tapi gajahna rea, aya ka na 50 mah. Aya elephant riding ngurilingan camp, sajam the THB 800. Ah teu hoyong, keur mah awis, oge asa teu resep dibonceng ku gajah lalaunan mah, duka mun sajam tapi gajahna bari lumpat mah, rada diemutan. Tapi ngacleng meureun urang na oge nya.

Akhirna tibalah pada pertunjukan gajah. Dimulai dengan memandikan gajah-gajah itu di sungai. Resep ningali gajah meni siga budak nyoo cai, tinggejebur, aya nu bari gogoleran, kekerelepan, bari garandeng disada. Kaluar ti walungan tuluy rombongan gajah teh diabringkeun ka tempat pertunjukan. Didinya gajah-gajah teh atraksi maen bal, maen harmonika bari nari-nari, nyusun batangan kayu, dan yang paling luar biasa adalah melukis! 5 gajah masing-masing menghadapi satu kanvas, ngalukis make cat air sakarepna-sakarepna. Pawangna mangmilihkeun warna.

Singhoreng hasilna beda-beda, aya nu ngagambar anggrek di na pot, ngagambar tangkal nu kembangna warna-warni, ngagambar tangkal, dan yang paling luar biasa aya nu ngagambar bonsay, siga caringin bonsay. Subhanallah, ternyata gajah punya kemampuan luar biasa. Eta gambarna persis we hasil ngagambar pelukis serius, rapih, nempatkeun warnana harmonis, jeung pas komposisina ka na ukuran kanvas. Hebat pisan lah, para penonton dibuat terpesona. Sajam pertunjukan gajah asa teu karaos, jabaning tiket masuknya juga murah, ngan THB 120.

Ieu catetan waktos di Hualam Phong...

Setelah perjalanan 15 menit dengan taxi, tibalah Cisca, Ninin, dan saya di Stasion Hualam Phong - Bangkok. Stasion utama yang melayani perjalanan kereta api ke seluruh Thailand bahkan ke negara-negara tetangganya seperti Malaysia dan Singapura. Jadwal kereta pukul 08:30, kami sampai di Stasiun pukul Tujuh kurang lima menit. Sengaja memang pergi lebih awal sebagai prosedur tetap untuk menghadapi keadaan yang belum pernah dilakukan, bisi aya nanaon cukup waktuna.

Berdasarkan informasi dari petugas hotel tadi malam bahwa kemungkinan jadwal perjalanan kereta api dapat terganggu karena banjir, alhamdulillah tidak terjadi. Penjualan tiket kereta api berjalan normal, dan tidak ada pengumuman di stasiun bahwa ada banjir yang akan menghalangi perjalanan.
Ternyata proses pembelian tiket sangat mudah. Tidak ada antrian di loket. Dengan dibimbing oleh seorang petugas dari tourist information desk, kami membeli tiket yang harganya per penumpang sebesar THB 611 untuk tujuan Chiangmai.

Masih sekitar sejam setengah lagi menunggu keberangkatan, Cisca dan Ninin muter-muter di stasiun, sementara saya duduk di tempat yang tersedia sambil menulis catatan ini. Hall stasiun cukup luas, mungkin sekitar setengah lapangan sepak bola. Kayaknya bangunan peninggalan lama. Konstruksinya dari besi dengan bentuk bangunan melengkung, mirip Stasiun Kota, di Jakarta.

Didalam stasiun suasananya bersih dan terasa tertib untuk ukuran stasiun kareta di tanah air. Merokok di lingkungan stasiun dikenai denda THB 2000. Papan informasi elektronik yang cukup besar menampilkan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta dalam dua bahasa, Inggris dan Thailand. Oh ya, semua keterangan di stasiun, bahkan yang saya lihat selama di Bangkok, ditulis dalam dua bahasa seperti itu.

Kembali ke dalam stasiun. Di bagian pinggir hall berjajar kios-kios food court, money changer, kedai kopi, penitipan bagasi, termasuk juga pusat informasi dan pos polisi kereta api. Pusat informasinya dikelola serius, dilengkapi komputer dan petugas berbahasa Inggris dan sangat helpful.
Didepan kios-kios tadi disediakan jejeran tempat duduk untuk calon penumpang. Saya hitung masing-masing 200 tempat duduk di setiap sisinya, total 400 kursi. Jumlah loket ada 22, setiap loket dilengkapi komputer dan printer sehingga nampaknya kita bisa membeli tiket untuk jurusan apa saja di loket yang mana saja. Petugas kebersihan terus bergerak membersihkan sampah yang terlihat olehnya, sehingga stasiun terasa bersih.

Mun ningali potongan jeung babawaanna, orang-orang di stasiun ini ada pengguna kereta untuk jarak pendek seperti pelajar dan karyawan nu relatif lalengoh, dan ada yang perjalanan panjang dengan ransel atau koper yang besar, termasuk turis-turis. Dengan gedungnya yang tiga lantai, bangunan Stasiun Gambir nampak lebih modern dibandingkan Stasiun Hualum Phong. Tapi begitu kita berada didalamnya, kita bisa membandingkan bahwa ke- modern-an itu tidak hanya terletak pada fisik bangunan, tapi lebih pada kebersihan, ketertiban, rasa aman, dan kemudahan setiap orang bahkan yang tidak berbahasa daerah itu untuk mengakses informasi yang dibutuhkannya mulai dari tiba sampai meninggalkan stasiun itu.

Pukul delapan tepat ada pengumuman yang kalau saya dengar sih seperti pengumuman jadwal kereta da ku Bahasa Thailand. Tapi pengumuman ini kemudian diikuti dengan bunyi peluit petugas keamanan. Semua orang yang sedang duduk lalu berdiri, yang sedang berjalan berhenti, lalu berdiri menghadap gambar raja yang ada di dinding stasiun. Lalu diputar lagu kebangsaan Thailand. Luar biasa, begini rupanya cara mereka menanamkan nasionalisme. 5 menit penghormatan kepada raja dan lagu kebangsaan.

Keberangkatan kereta terlambat 30 menit. Karosong, paling hanya terisi 15 persen saja. Ternyata kondisi keretanya tidak semewah yang dibayangkan. Mungkin sekelas Parahyangan tapi jelas dibawah Argo Gede. Memang harganya murah sih, cuma THB 611 atau sekitar Rp 180 ribu. Mudah-mudahan tidak mengurangi kenikmatan perjalanan. Ah da memang niatna sanes menikmati kareta api...., kami bisa saja naik Air Asia yang harga tiketnya 'hanya' Rp 600 ribu dan waktunya cuma 70 menit, tapi bila itu yang jadi pilihan maka kami tidak punya kesempatan untuk melihat setengah Thailand melalui jendela ini, jendela kereta Special Diesel Rail Coach Second Class….


Mendarat di Svarnabhumi pukul 8 kurang saparapat, malam. Tiga jam seperempat penerbangan Jakarta Bangkok hampir tidak terasa karena dilalui dengan tidur. Kaluar ti na pesawat masuk ke dalam bangunan airport yang megah dan terang benderang. Perjalanan dari pintu pesawat menuju counter imigrasi terasa panjang tapi menyenangkan karena koridor yang dilalui rapih, teratur, harum, tiis, dan ada toko-tokonya deuih, jadi bari cuci mata.

Sampai di area imigrasi, ternyata antrian sudah cukup panjang. Sekitar 15 menit menunggu, baru dapet giliran diperiksa. Aneh, setiap menemui antrian imigrasi saya selalu merasa nervous, rarasaan teh siga deuk dipariksa ku pulisi, atawa keur diteangan kasalahan. Teu diluar negeri teu di Indonesia, rarasaan teh aya we dokumen nu kurang.
Setelah diperiksa, paspor di cap, plok...plok...plok...., teuing palebah mana wae anu di cap teh, tuluy dipasrahkeun deui paspor teh. Plong....., ku lantaran teu aya bagasi tiasa langsung kaluar ka area publik. Sudah diniatkan ti Jakarta keneh, hoyong nyobian kareta api nu ti bandara ka Bangkok, yang baru beberapa bulan diresmikan dan tiketnya pun masih tiket diskon.

Mun ningali gambarna di internet mah siga nu sae pisan. Namina Airport Rail Link. Dipapay we papan penunjuk nu alhamdulillah jelas. Terminal kareta teh ayana di lantai panghandapna, di basement bangunan bandara. Untuk sampai disana, sangat mudah bahkan bila kita bawa koper nu gede sekalipun. Eskalatorna siga nu sok aya di tempat balanja, rata. Suasana bandara yang tertib, bareresih, dan nyaman, dengan petunjuk-petunjuk yang jelas, mendukung first timer untuk tidak akan tersesat. Mau pake lift juga ada.

Karena uang baht yang dibawa pecahan seribu, akhirnya saya beli dulu minuman dua botol serta satu snack sehingga dapat kembalian recehan. Dengan asumsi bahwa beli tiket kereta yang hanya THB 15 harus pake recehan. Begitu tiba di loket kereta api, nampaklah bahwa loket itu siap dengan pecahan uang berapapun yang kita bawa. Teu kedah ku recehan, bade ku sarebuan oge mangga. Loket na oge meni keren, petugasna ngarora keneh dandananna siga padamel bank. Dikacaan, eusina aya genepan kitu, masing-masing mayunan komputer.

Sampai di peron, ngantosan sekitar 10 menit. Kereta berangkat setiap 15 menit. Jarak yang ditempuh dari bandara sampai stasiun di pusat kota sejauh 28 kilometer lebih sedikit dengan delapan stasiun perhentian. Waktu tempuh ti bandara dugi ka kota (setelah mencoba dua kali), sekitar 28 menit dengan waktu berhenti di setiap stasiun sekitar 30 detik. Rel anu dibawah tanah ngan nu di bandara hungkul, kaluar ti bandara sampai ka kota mah si rel teh ayana di luhureun jalan raya. Kecepatan maksimal adalah 160 km/jam, ini saya tahu bukan dari melihat speedometernya tapi info dari web nya, he he he.

Jol kareta datang, blus ka na kareta, euleuh meni resep. Kareta teh meni beresih...sih...sih. Modern model na teh. Satu rangkaian kareta terdiri dari tiga gerbong dan tiap gerbong mampu mengangkut sampai, mun saya teu salah mah, ah sabaraha nya harita teh, hilap deui.

Jumlah tempat duduk tidak terlalu banyak, seueur disadiakeun kanggo nu tatih. Oh iya, yang saya ceritakan ini kareta anu kelas ekonomi. Mun nu express na, teu eureun-eureunan di unggal stasion, tapi langsung. Nu express mah calik sadayana tapi ongkos na oge langkung awis. Nyaan eta kareta beresihna. Sengaja saya colek bagian bawah jendela yang biasanya berdebu. Bersih friend! Tidak ada debu. Bahkan bagian yang dekat kaki juga saya lihat beresih. Cle calik dina korsi anu minimalis tapi hipu bari ningalian penumpang nu sanes... :)

Geuleuyeung kareta maju, karaos ngebutna. Kaluar ti na taneuh, tuluy naek ka na trek nu ayana di luhureun jalan. Tambah laluasa ningali pemandangan kaluar. Duka pedah area caket bandara, duka di seluruh Bangkok seperti itu, jalan teh lalega, caraang ku lampu jalan. Sigana mun mobil teu dilampuan oge moal poek. Di tiap-tiap stasion kareta teh eureun, nurunkeun jeung naekkeun penumpang. Akhirnya tibalah di Phaya Tai Stasiun, tungtung jalur. Rada hanjakal oge naha enggal-enggal teuing meni tos dugi deui, padahal sedang menikmati.

Nyaan teu rugi pisan mayar opat rebu lima ratus rupia teh. Turun didieu, di lantai 3. Turun salantai ka lantai dua, nyambung ka na kareta kota Bangkok. Kareta kota Bangkok namina BTS Skytrain. Mun nu tadi mah Airport Rail Link, nu ieu mah Skytrain. Terdiri dari dua jalur yaitu jalur Sukhumpit yang melayani Bangkok utara sampai Bangkok Timur, dan jalur Silom yang melayani Bangkok barat ke selatan. Kedua jalur bertemu di Stasiun Siam nu mangrupakeun stasiun central.

Kaayaan stasion estuning bareresih, teu aya runtah, teu aya puntung rokok da teu kenging ngarokok. Pelanggaran akan didenda THB 2000, sekitar genep ratus rebu rupia. Ngajanteng heula di stasion BTS teh, ningalikeun kumaha carana meuli tiket jeung asup ka stasiun. Didinya teh aya mesin tiket sababaraha unit. Aya oge loket nu dijaga ku petugas. Penumpang teh aya nu langsung ka mesin tiket, pencet sana sini, masukin uang, tiket kaluar, ambil lalu pergi ke arah pintu otomatis, masukin tiket, pintu terbuka, ambil lagi tiketnya, lalu jalan ke arah tempat ngantosan kareta.

Aya oge nu ka loket heula. Ah ambil gampangnya sajah, antri we di loket. Masihkeun artos THB 100 ka petugas, diuihkeun deui ku artos, nganggo artos kertas pecahan duapuluh jeung koin pecahan 10 jeung 5. Teu ngitung harita teh yen jumlahna tetep 100. Bingung abdi teh, mana tiketna...., bade uih deui ka loket nu antri meni seueur, ah teu raos atuh jeung yakin yen teu mungkin petugas stasion salah. Setelah merhatikeun penumpang nu katingalina urang dinya, singhoreng memang setelah dari loket teh tuluy meser tiket na mah di na mesin, nganggo artos koin. Jadi, si loket teh sanes tempat jualan tiket tapi tempat nukeuran artos, beu!! Teu maca abdi teh, di na kaca aya seratan 'change only'. Untung can complaint....

Tos apal kitu mah langsung we ka mesin, pencet zona stasiun tujuan, lebetkeun recehan, candak tiketna, geuleuyeung we lebet ka peron tempat ngantosan. Teu lami jol we kareta Skytrain teh. Sami geningan siga kareta nu ti bandara..., muhun sami modernna, sami bareresihna. Penumpang kareta teh sanes ngan potongan Asia hungkul, tapi seueur bule na. Lamun urang naek TransJakarta mah pan eusina jauh lebih banyak urang Indonesia na nya, ari na kareta ieu mah meureun aya ka na saparapatna urang bule. Jadi na kareta teh aya nu nyarios bahasa Thailand (meureun), aya nu nyarios bahasa Inggris, aya oge nu nyarios duka bahasa nanahaon da teu ngarti.

Ngan dua stasion kareta tos dugi ka Stasion Siam, 5 menit meureun. Turun we, da kedah ngalih ka jalur kareta Silom. Tujuan teh nyaeta ka hotel tempat Ninin mondok, hotel Shangri la anu tempatna deukeut stasion Saphan Taksin. Stasion ieu teh ayana di jalur kareta nu hiji deui. Teu lami ngantosan, jol we kareta nu bade ngalangkung ka stasion tujuan. Clak naek, geuleuyeung deui. Ngan sekitar 15 menit meureun, ngalangkungan 6 stasion, dugi we ka Saphan Taksin.

Nyaan pengalaman yang menyenangkan naek kareta di Bangkok teh. Murah, mudah, cepat, bersih, aman, penumpangna saropan..., sok kurang naon deui ari geus kitu? Stasion-stasionna aya di tempat-tempat anu strategis. Kadang-kadang ti stasion ka mall teh teu naek turun heula tapi langsung aya jembatan nu nyambungkeun. Total perjalanan dari airport dugi ka hotel tujuan, dengan diselang ku ngajanteng heula, teu dugi ka sa jam dengan biaya hanya THB 50 alias Rp 15 rebu. Sedap kan??

(Ida Martalogawa)

Lamun bagja eunteup
Sanajan ngan sakerejep
Tangkeup sing pageuh
Ku hate anu deudeuh

Lamun bagja hiber deui
Diselingan ku kapeurih
Tampa sing pasrah
Ku hate nu sadrah

Hirup teh rupa kangkalung
Tiiran bagja reujeung tunggara
Anu meulit kana ati
Satungtung urang kumelip

Ulah aral ngarasula
Lamun anjeun manggih tunggara
Ulah lali ka purwadaksina
Lamun rajeun pinanggih bagja

Angger sujud tarimakeun
Kasusah ku hate sabar
Kasuka ku hate sukur


Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan


Bila kebahagiaan hinggap
Meski hanya sekejap
Dekaplah sekuat tenaga
Dengan hati penuh cinta

Bila kebahagiaan terbang lagi
Berseling rasa pedih
Terimalah dengan pasrah
Dengan hati yang sadrah

Hidup bagai kalung seuntai
Suka dan duka sama terangkai
Membelit hati
Selama hayat kita jalani

Janganlah gundah gulana
Jika duka datang menimpa
Janganlah diri terlupa
Jika suka datang menyapa
Tetaplah sujud menerima
Duka dengan hati yang sabar
Suka dengan hati yang sukur
(Ida Martalogawa)

Mangka maneuh kadeudeuh sing pageuh
Mangka meulit kaasih sing dalit
Kangkalungkeun dina manah anu ihlas
Salendangkeun dina ati anu wening
Tanda bakti ka Yang Widi
Bawaeun urang mulang

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hawe Setiawan
Teguhlah cinta teguh tertanam
Eratlah kasih erat membelit
Kalungkan pada hati yang ikhlas
Selempangkan pada hati yang bening
Tanda bakti pada Hyang Widi
Bekal kita pulang nanti

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff