Februari 04, 2020



Dari banyak band tahun ‘70 – ‘90 an, Dire Straits adalah salah satu favorit.  Petikan gitar dan vokal Mark Knopfler yang berat nan powerful adalah mood booster di pagi hari sebelum pergi ke sekolah, dulu.  Efektif mengusir rasa kantuk.  Seingat saya hanya lagu ‘Why Worry’, ‘Brother In Arms’, dan ‘Your Latest Trick’ yang dibawakan dengan gaya slow.  Sisanya nge-beat.

Band ini  dibentuk pada tahun 1977 di London, Inggris, oleh Knopfler bersaudara, Mark dan David.  Mark sebagai lead gitar sekaligus vokal, adapun David menjadi backing vocal dan rhythm. Mereka didukung oleh John Illsley pada bas dan Pick Withers yang bertanggung-jawab pada drum dan perkusi.  Periode aktif Dire Straits terbagi menjadi dua, tahun 1977 – 1988 dan tahun 1991 – 1995.

Periode pertama diisi dengan kesuksesan album Dire Straits (1978), Communique (1979), Making Movies (1980), Love over Gold (1982), dan Brother in Arms (1985).  Secara berturut-turut album-album itu mengantarkan Dire Straits ke puncak keterkenalan dan membuat mereka mendapatkan 4 kali Grammy Awards, tiga kali Brit Awards, MTV video music awards, dan berbagai penghargaan lain.   Album-album itu ditandai dengan hits seperti Romeo and Juliet, Sultans of Swing, Brother in Arms, Walk of Life, Money for Nothing, dan banyak lagi.

Adapun periode kedua hanya diisi dengan album On Every Street (1991) yang secara komersial tidak sesukses pendahulunya.

Periode vakum antara 1989 sampai tahun 1990 dimanfaatkan untuk istirahat dari publikasi setelah kesuksesan dan popularitas diraih oleh band.  Rupanya cape juga ya jadi orang terkenal, sampai harus istirahat.  Pantesan pernah ada berita Raffi Ahmad mau vakum dulu dari dunia hiburan dan mau liburan keliling dunia, karena sudah cape terkenal.  Adapun Mark Knopfler memanfaatkan masa vakum tidak untuk keliling dunia tapi fokus pada projek solo dan mengisi musik untuk film.

Pada tahun 1980, David Knopfler meninggalkan band dan memilih bersolo karir.  Pecah kongsi dengan Mark.  Seperti group Oasis, kakak beradik Noel dan Liam Galagher yang pecah kongsi.  Saya suka sedih kalau melihat band yang bubar, apalagi jika mereka bersaudara.  Andai saja mereka mau meneladani group Bimbo yang kompak akur sampai tua.

Dari banyak lagu Dire Straits yang saya suka, The Telegraph Road, yang adalah masterpiece sekaligus centerpiece dari album Love Over Gold, adalah juaranya.  Lagu ini ditulis Mark Knopfler pada saat ia dalam perjalanan melalui Telegraph road yang terletak di negara bagian Michigan, dekat kota Detroit.  Mark Knopfler saat itu sedang membaca novel The Growth of the Soil karya Knut Hamsun yang kurang lebih bercerita tentang perkembangan peradaban di Norwegia dari budaya agraris ke periode industrialisasi dan modernisasi.

Terinspirasi oleh buku itu, serta melihat nama jalan yang terbentang didepannya, lahirlah lagu The Telegraph Road.  Lagu ini bercerita tentang tumbuh dan surutnya sebuah peradaban.  Diawali oleh kepioniran seseorang yang membangun rumah dan ladang yang letaknya jauh dari mana-mana, setidaknya ia telah berjalan 30 mil untuk sampai ke situ.  Kemudian datanglah orang lain yang kemudian mukim dan juga bertani di sana.  Lalu berkembanglah tempat tersebut menjadi pemukiman yang besar, sebuah kota industri dengan populasi yang besar.

A long time ago came a man on a track
Walking thirty miles with a sack on his back
And he put down his load where he thought it was the best
Made a home in the wilderness
He built a cabin and a winter store
And he ploughed up the ground by the cold lake shore
And the other travelers came walking down the track
And they never went further, no, they never went back

Kemudian didirikanlah sekolah-sekolah, dibuatlah gereja-gereja, dibuatlah peraturan, muncullah para pengacara.   Semakin besar ketika kemudian dibuatlah pertambangan, dibuatlah jalan-jalan, timbulah kemacetan, timbulah pemecatan.  Munculah ironi.  Ketika kemajuan perekonomian, kemajuan peradaban, justru melahirkan kerakusan, pertikaian antar manusia.  Kedamaian kehidupan di periode awal kehidupan agraris hilang terenggut oleh ketamakan industrialisasi.

Then came the churches, then came the schools
Then came the lawyers, then came the rules
Then came the trains and the trucks with their load
And the dirty old track was the Telegraph Road
Then came the mines, then came the ore
Then there was the hard times, then there was a war
Telegraph sang a song about the world outside
Telegraph Road got so deep and so wide
Like a rolling river

Masih ada beberapa bait lagi yang bercerita tentang kejayaan dan mulai runtuhnya kejayaan itu.

Begitulah, lagu ini bercerita tentang tumbuh dan berubahnya peradaban, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.  Lengkap dengan dampak yang ditimbulkannya.

The Telegraph Road adalah lagu yang tidak biasa.  Dari sisi durasi, ia terhitung sangat panjang.  14 menit!  Itu versi standarnya.  Ketika dibawakan dalam pertunjukkan langsung, ia bisa mencapai 15 menit.  Seolah ingin menunjukkan perubahan peradaban yang diceritakan lagu itu, Mark Knopfler dan kawan-kawan memainkan musik dalam The Telegraph Road mulai dari lemah lembut lambat membuai, hingga ke tempo yang sangat cepat dimana tidak banyak musisi dapat memainkannya.  Dari suara berat yang perlahan muncul dari kejauhan sampai teriakan yang diiringi pukulan tuts piano yang megah dan riuh.  Semuanya dibawakan dengan indah dan serasi sehingga 14 menit untuk lagu ini terasa sebentar saja.

Itulah kehebatan musisi.  Hanya dalam satu lagu, ia mampu bercerita beberapa pelajaran sekaligus.  Sosial, ekonomi, dan boleh jadi psikologi.  Juga sejarah.  Yang kalau dibuat dalam buku pasti akan menghabiskan ratusan halaman dan ribuan kata.  Oleh Mark Knopfler, puluhan buku itu dibungkus dalam sebuah lagu yang memberi pelajaran kepada kita bahwa ketamakan manusia akan menghancurkan dan meninggalkan kejayaan yang didapatkan, menjadi puing-puing belaka.  Dahsyat.

Rock on, Mark.

Howgh,

(seperti yang dituliskan oleh Nirwan Nugraha di WA Grup Sadagori 27 Januari 2020)
Ternyata saudara-saudara, naik kereta api dari Bangkok kurang elok pemandangannya. Tadinya saya berharap bisa melihat Thailand yang hilly dan scenic, tapi yang dilihat hanya hamparan sawah, hamparan ilalang, dan banjir yang lidah airnya merendam sebagian rel kereta api. Keretanya sendiri, karena banjir itu, sering memperlambat jalannya sehingga perjalanan yang seharusnya 12 jam molor menjadi hampir 14,5 jam. Wareg lah calik na kareta! Ketika sampai di Stasiun Chiangmai waktu sudah mendekati Pukul 11 malam. Stasiun Chiangmai tidak terlalu besar, seukuran Stasiun Banjar lah. Tapi memang lebih bersih dan tertib. Terasa waktu mencoba toilet yang berbayar THB 3, tidak ada bau yang gak enak. Air, sabun cuci tangan, dan tisu tersedia. Nyaman.

Keluar dari stasiun, tidak ada taxi meter, akhirnya naik mobil pribadi yang dijadikan taxi untuk menuju hotel yang jaraknya sekitar 5 km seharga THB 100. Nu nyupiranna ibu-ibu usia 50-an awal sigana. Berarti mun ibu-ibu mau nyupiran 'mobil umum' di stasiun boleh lah diasumsikan bahwa tempat itu aman. Si Ibu oge nawaran sewa mobilnya untuk tour ke sekitar Chiangmai. Ngan hanjakal bahasa Inggris na rada harese, sababaraha kali ngobrol jadi teu nyambung atawa si Ibu na nyarios teu ngartos. Ti stasiun langsung ka Holiday Inn. Untunglah kami mendapat discount rate dari Asiarooms, untuk kamar executive di Holiday Inn dapet THB 5000, sekitar 500 ribu semalam. Kamarnya besar dan mewah, dengan pemandangan ke arah sungai Ping yang lebar dan airnya mengalir deras.

Jadi, setelah di Bangkok menginap di Shangri La dengan pemandangan sungai Chao Praya, kembali kami menikmati kamar hotel dengan pemandangan sungai di Chiangmai. Dengan hotel yang tidak kalah luxurious..., meni ngagaya pisan he he he...

Cape perjalanan panjang kareta api matak tibra bobo.

Hari ini, setelah semalam beristirahat dari penatnya perjalanan, dan memulai sarapan pagi yang melimpah di hotel, Ninin dan saya mencari informasi kepada hotel untuk tempat-tempat yang worth visit, sekaligus alternatif transport yang paling murah dan nyaman. Setelah membanding-bandingkan dengan gaya budgeted tourist, ternyata transport yang paling baik adalah menyewa dari hotel. Dengan THB 1200 kami dapat van yang lega, supir berbahasa Inggris, cooler dengan persediaan air minum, dan yang penting waktunya tidak dibatasi.

Ninin, Cisca, dan saya memutuskan untuk pergi ke daerah Mae Taeng dan ke Doi Suthep. Mae Taeng berjarak sekitar 20 km dari kota dimana terdapat Snake Farm, Tiger Kingdom, dan Elephant Camp. Letaknya satu sama lain cukup dekat, kurang lebih 5 km saja. Sebetulnya ada banyak kegiatan outdoor di daerah itu, ada motocross, ATV, mountain bike, airshot gun, bahkan penangkaran monyet. Tempat yang didatangi pertama adalah Tiger Kingdom.

Tapi harapan tinggal harapan, ternyata bukan sebuah reservasi harimau yang kami temui, tapi hanya 36 ekor harimau yang sudah dijinakkan dan siap untuk berfoto bersama pengunjung. Kuciwa deh, hanya melihat-lihat sebentar tanpa membeli tiket, kami putuskan untuk mengucapkan selamat tinggal. Bade difoto jeung maung mah di Taman Safari we nya. 2 km dari situ, kami berhenti di Snake Farm. Harga tiket masuk THB 200.

Ini baru menarik. Yang menarik memang bukan melihat ular-ular yang bengong ngalamun didalam kandang, tapi atraksi ular. Dalam arena berbentuk lingkaran berdiameter 4 meter, sang pawing yang disebut Snake Man melakukan aksinya. King Cobra diganggu sehingga berusaha mematuk, tapi dengan kelihaian yang luar biasa, pawang itu selalu berhasil lolos dari patukan ular, bahkan akhirnya ular bisa dicium dan ditangkap. Lalu dipaksa untuk mengeluarkan bisa kedalam gelas yang ditutup plastik.

Cobra galak itu dibuat tidak berdaya mungkin kalau dia manusia mah geus diwiwirang, ibaratna preman garang yang dibikin takluk tidak bisa apa-apa. Selanjutnya atraksi dengan menggunakan ular Piton, ular Pohon, dan ular Sapi. Ternyata sambil beratraksi, si pawang memperhatikan pengunjung mana yang terlihat paling takut, untuk kemudian dengan sengaja membawa ularnya mendekati pengunjung itu. Puguh tambah sieuneun. Bahkan di satu kesempatan ketika ular masih didalam kotak dan hendak dikeluarkan dengan bambu, MC mengumumkan bahwa ular pohon itu mampu melompat sejauh 6 meter dan meminta pengunjung untuk lebih berhati-hati. Na eta mah jug belewer teh tina peti ngapung ka turis anu sieunan tea, ampir we manehna ngajuralit tina bangku, singhoreng tambang anu ngahaja disiapkeun jang nyingsieunan. Jail pisan!

Saya senang bisa melihat pertunjukan itu karena asa kacumponan cita-cita. Baheula pernah nongton film dokumenter di Discovery Channel tentang perjuangan seorang anak di daerah itu yang ingin menjadi snake man. Si budak nu umurna kakara 8 taunan difilmkeun latihan terus menerus mengikuti pamannya yang telah menjadi snake man terkenal, hingga akhirnya dia bisa memulai pertunjukkannya yang pertama. Resep ningali filmna, akhirna kacumponan ningali langsung pertunjukanna.

Setelah snake farm, perjalanan dilanjutkan ke Elephant Camp. Tiba disana Pukul 12.45, karena Elephant Show baru maen jam 1.30, sempet puter-puter heula ningalian lingkungan camp. Sempet ningalian gajah nu diparaban, dimandian, sapawangna-sapawangna ti mimiti gajah leutik nepi ka anu sagede gajah, enya gede pisan maksudna. Elephant Camp teh teu gede-gede teuing, paling oge sagede Camping Ground Cikole, tapi gajahna rea, aya ka na 50 mah. Aya elephant riding ngurilingan camp, sajam the THB 800. Ah teu hoyong, keur mah awis, oge asa teu resep dibonceng ku gajah lalaunan mah, duka mun sajam tapi gajahna bari lumpat mah, rada diemutan. Tapi ngacleng meureun urang na oge nya.

Akhirna tibalah pada pertunjukan gajah. Dimulai dengan memandikan gajah-gajah itu di sungai. Resep ningali gajah meni siga budak nyoo cai, tinggejebur, aya nu bari gogoleran, kekerelepan, bari garandeng disada. Kaluar ti walungan tuluy rombongan gajah teh diabringkeun ka tempat pertunjukan. Didinya gajah-gajah teh atraksi maen bal, maen harmonika bari nari-nari, nyusun batangan kayu, dan yang paling luar biasa adalah melukis! 5 gajah masing-masing menghadapi satu kanvas, ngalukis make cat air sakarepna-sakarepna. Pawangna mangmilihkeun warna.

Singhoreng hasilna beda-beda, aya nu ngagambar anggrek di na pot, ngagambar tangkal nu kembangna warna-warni, ngagambar tangkal, dan yang paling luar biasa aya nu ngagambar bonsay, siga caringin bonsay. Subhanallah, ternyata gajah punya kemampuan luar biasa. Eta gambarna persis we hasil ngagambar pelukis serius, rapih, nempatkeun warnana harmonis, jeung pas komposisina ka na ukuran kanvas. Hebat pisan lah, para penonton dibuat terpesona. Sajam pertunjukan gajah asa teu karaos, jabaning tiket masuknya juga murah, ngan THB 120.

Ieu catetan waktos di Hualam Phong...

Setelah perjalanan 15 menit dengan taxi, tibalah Cisca, Ninin, dan saya di Stasion Hualam Phong - Bangkok. Stasion utama yang melayani perjalanan kereta api ke seluruh Thailand bahkan ke negara-negara tetangganya seperti Malaysia dan Singapura. Jadwal kereta pukul 08:30, kami sampai di Stasiun pukul Tujuh kurang lima menit. Sengaja memang pergi lebih awal sebagai prosedur tetap untuk menghadapi keadaan yang belum pernah dilakukan, bisi aya nanaon cukup waktuna.

Berdasarkan informasi dari petugas hotel tadi malam bahwa kemungkinan jadwal perjalanan kereta api dapat terganggu karena banjir, alhamdulillah tidak terjadi. Penjualan tiket kereta api berjalan normal, dan tidak ada pengumuman di stasiun bahwa ada banjir yang akan menghalangi perjalanan.
Ternyata proses pembelian tiket sangat mudah. Tidak ada antrian di loket. Dengan dibimbing oleh seorang petugas dari tourist information desk, kami membeli tiket yang harganya per penumpang sebesar THB 611 untuk tujuan Chiangmai.

Masih sekitar sejam setengah lagi menunggu keberangkatan, Cisca dan Ninin muter-muter di stasiun, sementara saya duduk di tempat yang tersedia sambil menulis catatan ini. Hall stasiun cukup luas, mungkin sekitar setengah lapangan sepak bola. Kayaknya bangunan peninggalan lama. Konstruksinya dari besi dengan bentuk bangunan melengkung, mirip Stasiun Kota, di Jakarta.

Didalam stasiun suasananya bersih dan terasa tertib untuk ukuran stasiun kareta di tanah air. Merokok di lingkungan stasiun dikenai denda THB 2000. Papan informasi elektronik yang cukup besar menampilkan jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta dalam dua bahasa, Inggris dan Thailand. Oh ya, semua keterangan di stasiun, bahkan yang saya lihat selama di Bangkok, ditulis dalam dua bahasa seperti itu.

Kembali ke dalam stasiun. Di bagian pinggir hall berjajar kios-kios food court, money changer, kedai kopi, penitipan bagasi, termasuk juga pusat informasi dan pos polisi kereta api. Pusat informasinya dikelola serius, dilengkapi komputer dan petugas berbahasa Inggris dan sangat helpful.
Didepan kios-kios tadi disediakan jejeran tempat duduk untuk calon penumpang. Saya hitung masing-masing 200 tempat duduk di setiap sisinya, total 400 kursi. Jumlah loket ada 22, setiap loket dilengkapi komputer dan printer sehingga nampaknya kita bisa membeli tiket untuk jurusan apa saja di loket yang mana saja. Petugas kebersihan terus bergerak membersihkan sampah yang terlihat olehnya, sehingga stasiun terasa bersih.

Mun ningali potongan jeung babawaanna, orang-orang di stasiun ini ada pengguna kereta untuk jarak pendek seperti pelajar dan karyawan nu relatif lalengoh, dan ada yang perjalanan panjang dengan ransel atau koper yang besar, termasuk turis-turis. Dengan gedungnya yang tiga lantai, bangunan Stasiun Gambir nampak lebih modern dibandingkan Stasiun Hualum Phong. Tapi begitu kita berada didalamnya, kita bisa membandingkan bahwa ke- modern-an itu tidak hanya terletak pada fisik bangunan, tapi lebih pada kebersihan, ketertiban, rasa aman, dan kemudahan setiap orang bahkan yang tidak berbahasa daerah itu untuk mengakses informasi yang dibutuhkannya mulai dari tiba sampai meninggalkan stasiun itu.

Pukul delapan tepat ada pengumuman yang kalau saya dengar sih seperti pengumuman jadwal kereta da ku Bahasa Thailand. Tapi pengumuman ini kemudian diikuti dengan bunyi peluit petugas keamanan. Semua orang yang sedang duduk lalu berdiri, yang sedang berjalan berhenti, lalu berdiri menghadap gambar raja yang ada di dinding stasiun. Lalu diputar lagu kebangsaan Thailand. Luar biasa, begini rupanya cara mereka menanamkan nasionalisme. 5 menit penghormatan kepada raja dan lagu kebangsaan.

Keberangkatan kereta terlambat 30 menit. Karosong, paling hanya terisi 15 persen saja. Ternyata kondisi keretanya tidak semewah yang dibayangkan. Mungkin sekelas Parahyangan tapi jelas dibawah Argo Gede. Memang harganya murah sih, cuma THB 611 atau sekitar Rp 180 ribu. Mudah-mudahan tidak mengurangi kenikmatan perjalanan. Ah da memang niatna sanes menikmati kareta api...., kami bisa saja naik Air Asia yang harga tiketnya 'hanya' Rp 600 ribu dan waktunya cuma 70 menit, tapi bila itu yang jadi pilihan maka kami tidak punya kesempatan untuk melihat setengah Thailand melalui jendela ini, jendela kereta Special Diesel Rail Coach Second Class….

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff