Desember 28, 2010

Dr. Livingstone, I Presume..?

3 komentar:
 
Dr livingstone, I presume. The infamous meeting of Henry Morton Stanley and David Livingstone at Ujiji
Credit: Wellcome Library, London

Oleh Bayu Bharuna

Pada tanggal 10 November 1871 , Henry Morton Stanley bersama tim ekspedisinya yang gigih berhasil menerobos sejauh 1000 km di belantara hutan Afrika Tengah untuk sampai di sebuah gubuk di tepi Danau Bemba. Lalu dengan hormat ia menghampiri seorang pria kulit putih yang kurus kering dan sakit-sakitan, namun sorot matanya menampakkan kegagahan sejati.
Dengan penuh hormat Stanley membuka topinya dan seraya berkata kepada pria itu,

“ Dr. Livingstone, I presume..?

Itulah kalimat sederhana yang menjadi amat termasyhur melukiskan pertemuan dua penjelajah dunia yang paling ulung.

Afrika seolah ada dalam darah David Livingstone. Sejak tahun 1852 ia menjelajahi benua Afrika terutama sungai Zambesi sehingga kelak menjadi penjelajah Afrika yang paling terkenal. Ia menerobos hutan-hutan yang amat lebat sehingga dilukiskan bahwa sinar matahari pun tak dapat menembusnya dan menyusuri jeram-jeram sungai yang ganas. Penjelajahannya terhenti di pedalaman Afrika tengah, dengan kondisi sakit keras hingga kemudian Henry Morton Stanley menemukannya.

Namun dr. Livingstone menolak meninggalkan Afrika dan satu setengah tahun kemudian ia meninggal disebuah dusun yang sunyi di pedalaman Afrika yang dicintainya,walau kemudian jenazahnya digotong sejauh 1.500 km menuju Zanzibar lalu kemudian disemayamkan di Westminster Abbey.

Dalam tragedi yang menimpa tim pendaki Mountain Madness dan tim Adventure Consultan kala memuncaki Everest tahun 1996, pendaki Rusia Anatoli Boukreev –terlepas dia merupakan salah satu pemandu tim Mountain Madness yang dibayar $ 25,000,-- dengan heroik mendaki sendirian dari base camp menerjang badai yang berkecamuk untuk menyelamatkan sekelompok pendaki yang terkena musibah di Jalur Selatan Everest. Ia akhirnya menemukan lima pendaki yang terjebak badai dan menyadari hanya dapat menyelamatkan seorang saja dalam satu kali jalan. Solusinya ia pun secara menakjubkan mendaki bolak balik untuk menyelamatkan pendaki lainnya.

Kala tim ekspedisinya terjebak di Antartika, Ernest Shackleton dengan gagah berani menerobos badai es dan jarak ratusan kilometer untuk meminta bantuan, dan dengan menakjubkan ia sendiri kembali ke Antartika untuk menolong tim ekspedisinya, dengan penolong yang mereka perlukan. Sehingga termasyhur sanjungan untuk nya:

"Scott for scientific method, Amundsen for speed and efficiency but when disaster strikes and all hope is gone, get down on your knees and pray for Shackleton."

Apakah yang mendorong segelintir manusia mempertaruhkan hidupnya sendiri demi menolong orang lain walau kemungkinan tampaknya amat tipis. Stanley bahkan tak mengenal dr. Livingstone secara pribadi, Boukreev takkan disalahkan atas kematian para pendaki akibat badai di zona kematian Everest namun ia menolak berdiam dan kemudian membuat semua yang tampak mustahil menjadi nyata, Shackleton mempertaruhkan hidupnya untuk mencari pertolongan bagi tim ekspedisinya yang hampir binasa dan berhasil menyelamatkan mereka semua.

Barangkali ungkapan David Roberts dalam Moment of Doubts sedikit menggambarkan, ”Para pendaki kawakan..bisa sangat tersentuh, bahkan sangat sentimental; tetapi perasaan ini hanya ditujukan pada rekan-rekan mereka yang layak menerimanya. Semacam sikap tidak kenal kompromi..itulah arti pendakian di tempat tinggi..”

Tak perlu heran ketika tersiar kabar bahwa ada insan petualang yang hilang atau kecelakaan di suatu gunung, sungai atau hutan dimanapun, akan selalu ada sukarelawan tak terhitung jumlahnya yang bersedia bergegas mengepak perlengkapan beratnya untuk segera membantu. Bahkan sebuah sms S.O.S konyol dari pendaki amatir yang panik kala mendaki punggungan gunung Salak bisa segera menimbulkan kehebohan dan menyibukkan ribuan orang untuk membantu pencarian.

Untuk berjaga-jaga saya pun bila akan mendaki suatu gunung selalu menyampaikan dengan rinci kepada rekan terdekat itenary perjalanan dari pergi hingga pulang kembali ke rumah. Sehingga bila terjadi hal diluar dugaan maka hal itu dapat diketahui segera dan sebuah tim penolong bisa mendapatkan informasi yang membantu evakuasi.

Namun kadang saya berpikir, dengan segala persiapan yang memadai dan sikap profesional kala melakukan petulangan maka hal tersebut sangat kecil kemungkinan bisa terjadi. Sebaliknya hal tersebut mungkin merupakan alam bawah sadar saya yang menyampaikan pesan bahwa saya akan melakukan apapun bila mereka dalam kondisi petualangan, lalu kemudian terjadi hal yang diluar dugaan.

Bagaimanapun akhir ceritanya setiap petualang sejati telah mengetahui resiko yang dihadapi saat melakukan penjelajahan. Seperti yang ditulis oleh Scott menjelang kematiannya kala habis logistik dan terjebak badai es di Antartika, ”Betapa ini semua ini lebih baik daripada duduk bermalas-malasan dengan santai di rumah.”

Kredit Foto : Livingstone Online



3 komentar:

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff