Maret 04, 2011

The Wandering Schoolar

1 komentar:
 

oleh Bayu Bharuna

I decided that adventure was the best way to learn about writing. - Lloyd Alexander

Membaca selembar demi selembar catatan perjalanan Ibnu Battuta akan terasa ada kedekatan didalam hati dibandingkan membaca cerita para penjelajah lainnya. Antara lain karena catatannya merupakan yang pertama dalam mengulas keberadaan Kerajaan Islam pertama di nusantara yaitu Samudera Pasai. Kala sampai di Aceh pada tahun 1345 Ibnu Batuta melukiskan Samudra Pasai sebagai negeri yang hijau dengan kota pelabuhan yang besar dan indah. Penguasa kerajaan adalah Sultan Mahmud Malik al-Zahir yang dinilainya berpengetahuan luas dan memerintah dengan baik. Ia juga sempat menyinggung mengenai kerajaan Majapahit di Jawa.

Meski kepulauan nusantara telah lama dikenal oleh para geograf Arab, baru Ibnu Battuta yang menuliskan hasil kunjungannya kala itu, sehingga kisah perjalanannya lebih penting dari sudut sejarah. Bahkan ia mungkin satu-satunya pengelana yang menulis perjalanannya di seluruh dunia Islam di zaman Klasik.

Walau terkadang penulis dari Barat menggambarkan Ibnu Battuta sebagai pengelana gagah berani yang kerap mempertaruhkan nyawa menuju terra incognita, sebenarnya ia lebih mirip ulama yang selalu berkelana sambil memberikan pelayanan keilmuannya. Ia bukanlah seperti para pionir dari Eropa yang datang dengan kapal perang. Alih-alih ia merupakan cendikiawan yang setia terhadap nilai-nilai spiritual, moral dan sosial diatas ketaatan lainnya.

Pada tahun 1325 saat berusia 21 tahun Ibn Battuta memulai pernjelajahannya dengan mengarungi lautan dan menjelajah daratan sepanjang 117.000 kilometer. Ia menjelajahi Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, jazirah Arab, India, Asia Tenggara hingga Cina. Petualangannya yang terakhir adalah safari melintasi gurun Sahara menuju kerajaan Mali dengan rombongan unta. Setelah petualangannya yang terakhir tahun 1355 ia kembali untuk menetap di tanah kelahirannya di Maroko untuk melayani tugas kerajaan dalam bidang peradilan dengan jabatan terakhir sebagai pejabat kehakiman di sebuah provinsi. Sang maestro meninggal pada tahun 1363 meninggalkan kelautan ilmu yang luas.

Karena Ibnu Battuta bukan seorang ahli seni sastra, ia dibantu oleh Ibnu Juzayy dalam menyiapkan sebuah laporan perjalanan mengenai pengalaman-pengalamannya, untuk disajikan demi kesenangan Kerajaan Maroko. Penguasa Maroko sendirilah yaitu Sultan Abu ‘Inan yang secara pribadi meminta Ibnu Battuta menuliskan cerita-ceritanya. Ibnu Juzayy menyusun laporan perjalanan Ibnu Battuta dalam suatu bentuk karya sastra yang baik, sesuai standar kesusasteraan sebuah rihla.

Karya sastra rihla merupakan laporan perjalanan yang dipusatkan pada perjalanan ke Mekah. Sebagai suatu jenis sastra Arab, rihla merupakan karya yang populer di Afrika Utara antara abad ke-12 hingga abad ke-14. Rihla bukanlah sebuah buku harian atau suatu himpunan catatan harian sesuai kronologis perjalanan, sehingga amat berbeda dengan catatan perjalanan terkenal lainnya seperti Book of Marcopolo. Kadang dituangkan dalam bentuk syair, mengungkap hal-hal yang aneh dan kesimpulan-kesimpulan retoris. Laporan perjalanan itu dituangkan ke dalam suatu kisah yang menghibur dan memberi kenikmatan bagi telinga dan mata.

Laporan perjalanan ini lebih menyerupai karya sastra, sebagian berupa riwayat hidup dan sebagian merupakan ikhtisar yang ditulis pada akhir riwayat pekerjaannya. Penyusunan rihla ini sendiri baru dilakukan setelah Ibnu Battuta kembali dari petualangan-petualangannya dan menetap di tanah kelahirannya. Karena bentuk sastranya, dapat dipahami bila dalam rihla yang ditulis jauh setelah petualangannya selesai itu memiliki beberapa keraguan, kekeliruan dan terkadang memaksakan sikap kritis pembaca. Namun walau terhalang oleh kabut, dengan mempelajari secara lebih seksama para sejarawan akan dapat menarik ketepatan yang mengagumkan secara keseluruhan.

Tulisannya tak akan seperti catatan perjalanan lain yang mencatat hanya risalah geografi empiris, namun rihla secara keseluruhan menggambarkan kepribadian sang musafir, merekam budaya kosmopolitan sebuah peradaban, kesalehan yang terjaga dan keilmuan yang terang benderang. Perjalanan-perjalanannya memperlihatkan betapa luasnya dunia Islam di abad tersebut, dan ia dengan penuh kerendahan hati memperlihatkan sikap setianya terhadap nilai-nilai universal, moral dan sosialnya sebagai warga Dar al-Islam.

Sesuatu yang lain bisa dipelajari dari rihla karya Ibnu Battuta selain pengembaraannya itu sendiri, adalah bahwa sebagai pengelana seseorang tak terlepas dari pribadinya sendiri. Ia datang dari sebuah tempat yang jauh, latar belakang yang berbeda, pola pikir yang berlainan dan ide-ide yang tak sama. Menjadi menakjubkan bila perjumpaannya dengan pengalaman-pengalaman baru di tempat yang asing kemudian dapat diramu dalam sebuah “kisah yang menghibur dan memberi kenikmatan bagi telinga dan mata” tanpa ada tendensi apapun.

1 komentar:

  1. selalu terkagum-kagum oleh tulisan kang Bayu, terimakasih kang sudah berbagi

    BalasHapus

 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff